Wednesday, December 29, 2010
The Man Who I Want to be
Tuesday, December 28, 2010
Hujan
Tuhan, betapa aku sangat menyukai hujan
Ia begitu universal, tak satu pun dapat lari darinya
Ia ramai, jarang mereka turun tanpa bersuara
Ia adalah anugerah, karena itu adalah salah satu karunia-Mu yang besar
Tuhan, betapa aku rindu saat hujan
Ia mengingatkanku akan diri-Mu
Ia mengingatkanku akan mimpi di masa depan
Ia mengingatkanku akan kedamaian yang diciptakannya
Tuhan, aku mencintai hujan
Aku suka saat dimana mereka turun
Aku suka saat dimana mereka membasahi seluruh tubuhku
Aku suka saat dimana aku menatapnya dari dalam rumah
dari dalam kamar melalui jendela
Aku suka saat dimana merapatkan selimut sampai ke dagu
merasakan dinginnya angin menggigiti jari-jari kaki dan tangan
Tuhan, hujan itu segalanya
Hujan membawaku ke masa lalu
Mengingatkanku akan memoriku
Tuhan, hujanlah pelepas bebanku
Bagaimana mereka mengguyurku
Seolah mereka menyapu bersih beban dan penatku
Yang tinggal hanya kebahagiaan
Tuhan, terima kasih atas hujan-Mu yang penuh berkah
Anugerah-Mu untukku dan seluruh penduduk Bumi
Sunday, December 12, 2010
My Thank to My Lord
Tuhan...
Andai saja aku laki-laki
Pasti aku seorang yang bertanggungjawab
Andai saja aku laki-laki
Pasti aku bisa melakukan semuanya
Andai saja aku laki-laki
Pasti aku bisa mengatur mereka
Andai saja aku laki-laki
Pasti tenagaku besar
Tapi, Tuhan...
Andai aku laki-laki
Aku tak yakin bisa menanggung semua
Andai aku laki-laki
Aku pasti punya kekurangan
Andai aku laki-laki
Aku pasti pernah diatur mereka
Andai aku laki-laki
Aku pasti punya kelemahan
Karena itu, Tuhan...
Aku bersyukur menjadi seorang wanita
Karena aku begitu dihargai oleh-Mu
Terima kasih, Tuhanku...
Friday, December 10, 2010
My Hope
Thursday, December 9, 2010
If You were Gone...
Jika kau pergi…
Aku di sini
Berdiri sendiri
menatapmu pergi seorang diri
Jika kau pergi…
tak ada tawa lagi
tak ada canda lagi
tak ada tangis lagi
tak ada lagi…
Jika kau pergi…
mungkin aku akan menangis
Jika kau pergi…
mungkin aku iri
dengan yang telah kau lakukan di sini
Tapi…
Aku mau berdiri sendiri
Aku tak ingin bergantung denganmu lagi
Cukup sampai saat ini
Aku bersamamu di sini
Tuesday, November 23, 2010
Hei, Orang Besar . . .
Hei, orang besar...
Aku sangat iri padamu
Dengan apa yang kau lakukan
Dengan apa yang kau pikirkan
Kau begitu sempurna di setiap kesempatan
Kau buatku iri
Hei, orang besar...
Aku sangat mengagumimu
Di setiap waktu
Di setiap tempat kau bernaung
Di setiap peristiwa yang kau ada
Kau buatku kagum
Hei, orang besar...
Apa kau tahu setiap orang menyukaimu
Setiap orang iri padamu
Setiap orang kagum padamu
Terlebih aku
Hei, orang besar...
Apa kau tahu semua perasaan itu berubah
Seperti ulat yang menjadi kupu-kupu
Seperti bunga kuncup menjadi mekar
Seperti kesulitan berbuah keberhasilan
Semuanya indah, bukan
Itu yang sedang kurasakan
Cinta atau kagum...
Aku tak peduli keduanya
Yang kurasakan hanya kebahagiaan
Ketika melihatmu
Berbicara denganmu
Atau berada di sampingmu
Hei, orang besar…
Wednesday, November 10, 2010
Sayang . . .
Pagi ini aku tak lihat dia
Padahal aku ingin sekali melihat dia
Sayang…
Siang hari aku lihat dia
Betapa khasnya dia
Sampai-sampai hanya lihat tasnya
Aku tahu kalau itu dia
Aku hanya lihat dari kejauhan
Walau begitu aku sangat bahagia
Lalu dia menghilang
Sayang…
Aku hanya berpikir kalau dia pulang
Tapi Tuhan memang sayang
Aku lihat dia kedua kalinya
Kali ini lebih dekat
Sampai-sampai aku malu karenanya
Perasaanku senang tak keruan dibuatnya
Jantungku berdetak kencang tak hentinya
Namun aku harus pergi, sayang…
Aku harus puas lihat dia di kejauhan
Saturday, November 6, 2010
In This Time . . .
Rasa kagum itu…
Aku berusaha menyembunyikannya
Aku berusaha memendamnya
Aku berusaha menyimpannya
Namun semua itu sia-sia
Kini ada seorang yang mengagumimu
Mengusikku sampai aku merana
Sehingga membuat…
Apa yang ku dengar selalu menyakitkan
Apa yang ku lihat selalu memprihatinkan
Apa yang ku cium selalu menyesakkan
Apa yang ku rasa selalu pahit
Apa yang ku pegang selalu hancur
Apa yang ku jalani selalu salah
Apa yang ku rasakan selalu sakit
Apakah karena dirinya
hingga membuatku begitu tak berarti lagi di matamu
Apakah karena dirinya
hingga membuatmu memandang sama antara aku dan dirinya
Apakah karena dirinya
yang membuat kita semakin jauh satu sama lain
Aku…
Sendiri
Monday, November 1, 2010
Aku, Ayahku, Ibuku . . .
Aku adalah bukti cinta ayah dan ibuku.
Aku adalah anugerah terindah yang pernah dimiliki ayah dan ibuku.
Aku adalah bagian dari keluarga.
Aku merasa tidak punya arti apa-apa tanpa ayah dan ibuku di sampingku.
Aku adalah bagian dari hidup ayah dan ibuku yang takkan pernah mereka lupakan selama ayah dan ibuku menikmati alunan nafasnya.
Aku adalah jembatan ayah dan ibuku dalam menggapai surga…
Senyum ibuku adalah bukti bahwa aku hidup.
Senyum sedih ibuku membuat aku merasa ada segudang kesalahan yang pernah kulakukan.
Senyum manis ibuku kurasakan begitu banyak keberhasilan yang telah kulakukan, yang membuat dia bangga padaku…
Wajah ayahku adalah sumber inspirasiku.
Tatapan ayah dan ibuku membuat aku berpikir,
bahwa aku akan melakukan apa saja sesuai dengan segala kemampuanku,
untuk mencapai tujuan hidupku…
Semoga kehadiranku,
betul-betul menjadi jembatan bagi ayah dan ibuku
untuk mencapai surga.
Itulah do’aku.
Terima kasih…
source : Pak Muharman'07
We are too Far, aren't We ?
Kita jauh banget ya?
Seperti langit dan bumi.
Bukan karena kita terus bertengkar, ataupun tidak cocok satu sama lain.
Tapi terlebih karena kita tidak pernah berbicara satu sama lain.
Itulah yang membuat aku merasa jauh darimu.
Aku tidak pernah bisa membaca apa yang kau lihat atau rasakan.
Karena kau terlihat menutupi diri dengan sangat baik.
Seakan tidak mengizinkan satu orang pun mengetahui dirimu lebih jauh.
Aku merasa kita jauh sekali bagai langit dan bumi.
Aku pernah mengeluhkannya.
Aku pernah menangis karenanya.
Aku pernah takut kau tak pernah tahu aku, bahkan namaku.
Namun dibalik itu, aku bersyukur kepada Tuhan yang sudah memberiku perasaan ini terhadapmu.
Aku bersyukur karena dengan begitu aku bisa mengawasimu dari jauh tanpa perlu takut ketahuan.
Aku bisa mengagumimu tanpa perlu kau merasa.
Aku bisa selalu tersenyum atau tertawa begitu melihatmu tanpa perlu kau melihatnya.
Aku bersyukur karena aku memendamnya di hati ini.
Setiap kali aku memikirkan kenyataan itu, sering kali aku menangis.
Protes karena tak diberi izin untuk mengenalmu lebih jauh.
Aku kesal terhadap diriku yang tak bisa memberanikan diri untuk berbicara padamu, walau itu hal yang sangat kecil.
Kita jauh banget ya?
Aku sampai mengibaratkan, ketika aku berlari mengejarmu aku tak pernah sampai di hadapanmu.
Padahal jarak kita cuma beberapa langkah.
Ternyata kita memang jauh
Sampai-sampai aku tak pernah berpikir kalau sebentar lagi kau akan pergi dari hadapanku.
Tempat kita akan berbeda.
Apakah aku bisa menerimanya?
Aku tak tahu.
Aku tak pernah memikirkannya karena aku takut.
Takut kehilanganmu.
Ketika seorang yang dulu pernah membuatku kagum pergi, aku tidak takut karena aku merasa masih mempunyai dirimu di sini.
Namun, apakah benar aku diberi kesempatan untuk merasakan hal yang sama nanti?
Monday, October 18, 2010
Tenagaku untuk Saudaraku 3
Begitu sampai di luar, aku melihat anak-anak langsung menyebar ke sana kemari mencari musuh. Batu sudah siap di tangan mereka. Semua orang termasuk aku juga sudah bersiap-siap. Aku melihat seorang sniper israel sedang membidik musuh yang masuk ke daerah perbatasan. Aku mengerti, mereka tidak akan menembak kecuali ada di perbatasan. Aku juga membidik sang sniper, mengukur jarak dan berapa kira-kira tenaga yang harus aku keluarkan. “Bismillahirrahmanirrahim. Allahu akbar!” aku berteriak dan melemparkan batu puing itu ke arahnya.
“Alhamdulillah! Yes, kena kepala!” seruku. “Tapi keliatannya Cuma sempoyongan! Ayo kita cari lagi!” ajak Rian. Aku juga sadar kalau sang sniper hanya terjatuh kemudian kembali ke posisi semula sambil mulai menembaki saudaraku yang lain. Aku makin kesal. Aku terus melempar ke semua musuh yang aku lihat. Aku terus melempar hingga tenagaku habis. Semua orang yang setenda denganku beberapa telah syahid. Aku mau seperti itu! Aku berteriak di dalam hati.
Sementara itu, aku melihat Rian memegang senjata api. “Dari mana kamu dapet ini?” tanyaku sambil terus melempar ke arah perbatasan. “Ngambil dari saudara kita yang tewas. Pelurunya tinggal tiga. Jadi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.” Jawab Rian sambil melihat situasi. Ia melihat banyak anak-anak yang mencoba menerobos perbatasan tertembak dan terlindas tank. Lalu ia pun juga melihat sebuah senjata diarahkan ke sahabatnya. Walaupun tidak melihat wajah si empunya senjata, tapi Rian tahu di belakangnya pasti ada orang. Rian mengambil ancang-ancang dan berbisik, “bismillahirrahmaanirrahiim, Allahu akbar!” dalam seketika senjata itu jatuh dan orang di belakangnya tewas.
Aku lengah, jalanku terseok-seok karena kakiku tertembak. Ketika aku mengangkat tangan untuk melempar, bahuku terasa panas dan sakit yang sangat luar biasa. Aku lihat bahuku berdarah. Ternyata penembak yang ditembak Rian sudah lebih dahulu menembak dan berhasil mengenai bahuku.
Aku terjatuh. Namun, tubuhku tidak jatuh ke bumi, seperti ada yang menopang. Setelah kubuka mataku, wanita berjilbab cokelat tersenyum di hadapanku. Aku terlalu lemah untuk membalasnya. Aku pingsan.
Ketika aku terbangun, suasana tenda memenuhi mataku. Aku melihat Rian yang sedang duduk di sampingku dan bangun perlahan. “Gimana akhirnya?” tanyaku pada Rian yang ada di sebelahku. Rian menjawab sambil menghela napas. “Aku ga tau. Yang pasti banyak dari kita yang terluka. Itu ngakibatin kita harus mundur ngerawat yang luka-luka dulu. Kamu sendiri gimana? Masih sakit bahunya?”
“Yaah, lumayanlah. Sakitnya sedikit-sedikit.” Jawabku agak meringis. “Sebaiknya kalian pulang. Di sini bukan tempat kalian.” Kata Abi menghampiri kami begitu melihatku sadar. Aku dan Rian tertunduk. Sebenarnya, aku masih mau di sini. “Aku juga berpikir begitu, Far.” Sahut Rian pada akhirnya. “Kita udah nyumbang tenaga kita sekarang walau ga tau kita menang atau kalah. Tapi yang pasti, kita udah melakukan lebih.” Aku hanya mengangguk pasrah. Setelah agak cukup kuat, kami berpamitan kepada keluarga Abi dan ibu. “Terima kasih, nak, sudah datang. Semoga selamat sampai tujuan.” Kata Abi. Aku tersenyum. “Assalamu’alaikum.” Kata Rian. “Wa’alaikum salam.” Jawaban itu terasa seperti perpisahan dan kita tidak akan bertemu lagi.
Kami meninggalkan tenda tersebut. 15 menit kami berjalan, tapi tidak ada tanda-tanda mesin waktu. “Di mana mesin waktunya?” tanya Rian di tengah perjalanan. “Kayaknya ada di tengah kota. Kita ke sana sekarang.” Jawabku. Butuh 3 jam untuk sampai ke tengah kota. Seperti biasa, kami bertemu dengan para tentara lengkap dengan senjata. “Huh, gara-gara mereka aku jadi kayak gini! Pokoknya aku benci mereka seumur hidupku!” Ujarku dalam bahasa Indonesia. “Itu dia. Ayo!” seru Rian.
Mesin waktu itu ada di salah satu reruntuhan rumah. Kami harus membongkar puing-puing itu. Rian tidak mengizinkanku membantu, “bahumu bisa tambah parah nanti! Entar aku juga yang repot!” sahutnya ketika melihatku mau membantunya. Ketika selesai membongkar, kami naik ke atas papan lingkaran berkaca. Untuk terakhir kalinya aku melihat dan merasakan suasana di Palestina. Aku berdo’a, semoga bisa kembali ke sini dan lebih banyak membantu daripada sekarang. Rian mengetik tujuan ke Depok, Indonesia. Berangkatlah kami ke sana.
Ketika kami sampai, aku merasa ada sesuatu yang berubah dengan Indonesia. Kenapa jadi banyak pasir begini. “Kita ga salah tempat, kan?” tanyaku. Aku mengedarkan pandangan. Ada sebuah masjid yang sering kulihat digambar pajang-pajangan, masjid itu mengeluarkan cahaya yang berasal dari lampu-lampu yang dipasang karena petang datang. Masjidil Haram-kah? Aku sedikit melongok ke dalam. Ha! Ka’bah? Dan orang-orang ini berihram? Jangan-jangan…
“Mekkah!” seru kami berdua, antara geli dan aneh. “Kita ngapain di sini?” tanyaku lagi. Rian mengangkat bahunya kemudian berjalan ke arah pasar. “Kita cari mesin waktunya sampe ketemu.” Aku terenyak dan mengikutinya. Tapi setidaknya aku sudah mendapatkan apa yang aku mau. Benar kata Rian, sedekah itu tidak Cuma dengan harta, tapi bisa dengan tenaga. Dan aku sudah melakukan itu hampir tujuh jam yang lalu. Semoga pelajaran ini bermanfaat untuk diriku dan orang lain.
“Rian!!! Tunggu!!” aku berteriak dan berlari menghampiri Rian yang sudah berjalan jauh di depanku.
Sunday, October 17, 2010
Tenagaku untuk Saudaraku 2
PSYIUUU… JDERR… JDDEERR!!! Aku kaget mendengar suara keras yang ternyata berasal dari batu pecah yang ada di sampingku. Aku menatap ke depan. Tentara Israel dan beberapa tank mendekat ke arah kami. Aku memandang Rian yang juga tengah memerhatikan ke arah yang sama denganku tadi. Kemudian aku mendengar sayup-sayup suara bapak-bapak menggunakan bahasa arab berteriak, aku menengok.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya sang bapak dalam bahasa arab. “Ha! Dia ngomong apa?” tanyaku pada Rian dengan suara berbisik. Rian hanya mengangkat bahu tanda tak mengerti. “Ayo pergi! Di sini berbahaya!” bapak itu meninggalkan kami dengan setengah berlari. “Aku ga ngerti bahasa arab.” Rian berbisik padaku. Lalu aku melihat bapak itu berbalik ke arah kami, “hey, pemuda! Ayo ikut aku!” Sang bapak kembali berteriak sambil menggoyangkan tangannya. “Kayaknya dia nyuruh kita buat ngikutin dia, deh. Ayo!” seruku. Kemudian kami menyusul bapak itu.
Kami sampai di sebuah rumah kecil yang sudah agak rapuh. Bapak itu kemudian mengetuk daun pintunya sambil mengucap salam, “assalamu’alaikum!” kami mendengar jawaban suara anak-anak kecil dari dalam. Dan benar saja, yang membukanya adalah anak yang berumur kira-kira 8 tahun. Di belakangnya ada wanita dewasa berjilbab yang kuduga istri dari bapak ini.
“Wa’alaikum salam! Abi!!!” seru sang anak disambut teriakan dari adik-adiknya di dalam. “Bagaimana keadaan di luar, Abi?” tanya sang istri. “Tambah buruk. Mereka semakin gencar melancarkan serangan-serangan ke kita.” Sang bapak kemudian mencium anak-anaknya. “Bagaimana kalian di rumah?” tanya abi. “Baik, Abi!” jawab mereka. “Oh ya, tadi abi ketemu mereka di jalan. Kalian berasal dari mana?” tanya Abi. “Indonesia.” Jawab Rian. “Di mana itu?” tanya istri si Abi. “Eh… tempat yang sangat jauh dari sini.” Sekarang giliranku yang menjawab. Kenapa aku jadi ngerti omongan mereka? Kan, aku ga bisa bahasa arab? Ah, nanti aja mikirnya, batinku. Aku menoleh ke arah Rian yang juga keheranan.
DUAARR… tiba-tiba bunyi meriam terdengar keras membuat telingaku sakit. Abi mengecek keluar melalui jendela. Banyak tank-tank mengeluarkan peluru-peluru untuk menghancurkan bangunan-bangunan yang menghalangi jalannya.
“Kita ga bisa tinggal di sini lagi. Ayo pergi!” perintah abi pada keluarganya. “Kalian juga. Ayo ikut dengan kami!” Abi mengajak kami. Tanpa berpikir dua kali kami langsung menerima ajakan itu. Kami keluar lewat satu-satunya pintu yang kami lewati tadi tanpa membawa apa-apa.
“Ke mana kita pergi?” tanya Rian pada abi. “Rumah pengungsian di pinggir kota.” Jawab abi sambil membimbing kami keluar dari rumah itu. Aku dan Rian hanya mengikuti tanpa suara di belakang keluarga itu. 100 meter sudah kami berlari dan bersembunyi di antara puing-puing bangunan. Ketika aku menengok ke belakang, rumah itu sudah rubuh terkena puing dari bangunan di sebelahnya. Melihatnya membuatku merinding, “Ya ALLAH, hamba baru 10 menit di tempat ini, tapi hamba sudah merasa rapuh.” Aku memelas kepada-Nya.
Sudah 3 km kami berjalan dalam diam, tapi tak ada tanda-tanda tenda tempat orang tinggal. Kami bertemu dengan 2 orang israel lengkap dengan senjatanya. Namun, mereka acuh seakan tidak orang yang melewati mereka. Kemudian aku melihat ada beberapa bangunan yang menyembul dari berbukit-bukit puing reruntuhan bangunan. “Alhamdulillah, akhirnya kita sampai.” Aku mendengar Abi berbicara. Kami menghampiri tenda yang paling dekat dengan kami.
“Assalamu’alaikum!” terdengar jawaban dari dalam. Seorang ibu menyibakkan pintu untuk kami. Ketika aku melihat ke dalam, ada lautan manusia yang beberapa dari mereka mendongak menatap kami. Orang-orang itu tampaknya sudah mengalami cobaan yang sangat berat. Terlihat dari wajah dan mata mereka.
“Syekh Zahid ada?” tanya Abi membuyarkan lamunanku. “Abi sedang mengecek tenda lain bersama Ibrahim dan Yusuf yang akan ditempati. Ada apa dengan kalian? Ayo duduk dulu.” Kata ibu itu yang merupakan istri dari Syekh Zahid. Kami duduk di tempat yang telah disediakan. “Rumah kami hancur karena meriam mereka.” Terang Abi. “Sebelumnya saya bertemu mereka di jalan. Mereka dari Indonesia.” Ibu itu memandang kami, seorang anak perempuan dan laki-laki berumur 16 tahun, lalu tersenyum. “Ummi senang kalian datang.” Ucapnya. Entah mengapa bulu kudukku berdiri dan aku merasa hangat.
Tak lama kemudian aku mendengar suara laki-laki di luar tenda. Masuklah 3 orang laki-laki yang dua di antaranya sekitar berumur 20 tahun dan satu lagi sekitar 60 tahun. “Kita harus membantu mereka yang ada di luar. Abu Hasan tertembak. Sementara Abu Umar dan yang lainnya sedang mengadakan perlawanan diperbatasan tepi barat.” Aku mendengar salah satu laki-laki berumur 20 tahun berbicara pada ibu dan Abi. Mereka mengangguk mendengarnya.
“Saudara-saudaraku, sebentar lagi kita akan keluar untuk membantu saudara-saudara kita di luar sana. Para remaja yang sudah sembuh dan cukup kuat bisa membantu. Ibu-ibu dan anak-anak akan ke tempat lain untuk dievakuasi mengikuti ummi.” Seru laki-laki itu.
“Saya mau ikut!” aku menunjuk tangan dan bersuara lantang. Laki-laki itu memandangku. “Tapi kamu perempuan. Sebaiknya kamu ikut bersama ibu-ibu lain.” Jawabnya.
“Tidak masalah apakah saya seorang perempuan atau laki-laki. Saya merasa cukup kuat untuk melawan para zionis itu. Dan memang inilah tujuan saya datang kemari. Untuk melawan mereka. Saya tidak tahan duduk diam sementara saudara-saudara saya berperang dan syahid.” Aku membantah pernyataan laki-laki tersebut. Kulihat dia memandangku dengan sungguh-sungguh dan aku menatapnya dengan pandangan yang sama.
“Kami akan maju bersama kalian. Begitu juga dengan anak-anak. Bukankah kita memang biasa melakukan bersama, tanpa memandang laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak-anak?” tanya seorang ibu dengan suara keras. “Ibrahim, ummi rasa Ummu Hana benar. Kita sama-sama menjaga negeri kita. Allah akan menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya.” Nasihat ummi. “Baiklah.” Satu kata itu membuatku tersenyum dan berucap, “alhamdulillah.” Rian tersenyum melihatku. Kami bersiap-siap menuju medan pertempuran.
“Rian, kita bawa apa nih? Kita kan belom ada persiapan sama sekali.” Ujarku pada Rian yang sedang antre mau keluar ruangan. “Kita pake aja puing-puing bangunan. Pasti banyak di sana. Kalo kurang tinggal ambil, kalo keabisan yang ada di sekitar, ngumpet aja dulu di balik bangunan. Insya Allah ga ketauan. Baru deh lari ngambil batu lagi. Gimana?” tanya Rian sambil nyengir lebar. “Oke. Di saat kayak gini masih sempet-sempetnya nyengir.” Protesku yang hanya ditanggapi senyum Rian.
Saturday, October 16, 2010
Tenagaku untuk Saudaraku 1
Monday, October 11, 2010
Aku tak butuh...
tapi kau harus menerima resikonya