Saturday, October 16, 2010

Tenagaku untuk Saudaraku 1


“Pengen banget rasanya bantu-bantu di Palestin,” kataku sambil menerawang, “tapi ga punya uang.”
“Kenapa ngomong sendiri?” tanya Rian. “Eh, nggak! Aku pengen ngebantuin temen-temen yang ada di Palestin. Nyesek banget ngeliat mereka kesusahan ngelawan tuh para zionis. Tapi aku ga punya uang.” Jawabku.
“Hei! Yang namanya sedekah itu, kan, ga Cuma pake duit. Makanan, bisa. Obat-obatan juga, tenaga, boleh banget! Tapi kalo tenaga kamu harus mememenuhi persyaratan dulu.” Jelas Rian padaku yang tengah mendengarkannya dengan khusyu’.
“Yah, nambah susah deh!” seruku putus asa. “Coba kalo aku punya mesin waktu atau pintu ke mana saja kayak punya doraemon, pastinya aku bisa langsung ke sana sekarang. Hah… aku malah pengen syahid.” Aku melamun lagi. Rian hanya melihatku sambil tersenyum. “Temenku ini emang ga bakal nyerah.” Batin Rian.
“Ya udah, daripada kamu muram begitu, mending kita masuk kelas. Udah bel, nih! Nanti pas sholat zhuhur kamu do’a minta mesin waktu atau pintu ke mana saja, biar cita-citamu tercapai. Kalo bisa tambahin ama tahajjud tuh! Oh ya, kalo udah kesampean, kamu ajak aku! Kalo mau ngumpulin pahala bareng-bareng ama aku! Oke?” cerocos Rian. “Iya, iya. Mau sampe kapan kamu ngomong melulu? Ayo, masuk!” ajakku.
Waktu zhuhur tiba, aku tak lupa berdo’a meminta mesin waktu atau pintu ke mana saja atau alternatif lain untuk pergi Palestina. Ya Allah, aku hanya ingin bersedekah untuk mereka, aku membatin. Setelah mengakhiri dan mengamini do’a, aku langsung pulang. Tak sabar menunggu hari esok.
Hari minggu merupakan hari yang aku tunggu. Ke rumah kakek! Aku senang di sana banyak barang antik. Ketika sedang berjalan-jalan sendiri tanpa arah, tanpa sengaja aku masuk ke dalam gudang yang jauh dari rumah kakek yang belum pernah aku lihat.
Aku memasuki gudang tersebut. Melihat-lihat, sampai terkejut dengan sebuah benda asing berdebu, “apaan nih?” aku berbicara sendiri, menatap benda aneh tapi antik itu. Ada papan berdebu dan aku berusaha membacanya, “Mesin Waktu”. Aku tak mengacuhkannya dan langsung sibuk melihat-lihat dan mengagumi benda itu. Aku memencet tombol merah dan benda itu nyala. Lalu aku sadar, “Ha! Mesin waktu? Wow!” seruku kagum. “Alhamdulillah!” Aku membatin bersyukur, “akhirnya do’aku terkabul.” Dan tanpa berpikir panjang aku langsung menelepon Rian.
“Assalamu’alaikum! Halo, Rian! Aku Dapet mesin waktunya!” aku berteriak kepada Rian melalui handphone. “Wa’alaikum salam! Hey, ga perlu teriak-teriak! Pelan-pelan aja aku juga udah denger!” seru Rian. “Tapi tadi aku denger kamu udah dapet mesin waktunya? Dari mana?” aku pun menceritakan semua kejadian yang aku alami tadi. “Wow! Cool! Ayo, ajak aku ke rumah kakekmu.” Timpal Rian. “Oke, oke! Udah, ya! Wassalam!” kataku menutup pembicaraan. Kemudian aku mendengar jawaban Rian dan langsung mematikan handphone.
Esok harinya, aku mengajak Rian ke gudang di rumah kakekku. “Oh, ini mesinnya?” tanya Rian. “Iya.” Jawabku pendek. “Udah dicoba?” tanyanya lagi. “Belum.” Jawabku pendek juga. “Kita jajal dulu. Aku takut kenapa-kenapa, nanti kita malah nyasar lagi.” Saran Rian.
Mendengar saran Rian aku pun langsung mencari bahan percobaan. Kutemukan buku tua yang ada di atas meja tua di pojok ruangan. “Ini aja.” Aku menyerahkan bukunya. “Kita kirim ini ke tempat lain. Pastinya di tempat lain ada mesin ini juga. Kalo mereka kirim balik, berarti mesin waktu ini masih berfungsi dengan baik.” Kataku.
“Oke, sini!” Rian menaruh buku itu di atas papan lingkaran kaca pipih mesin waktu tersebut kemudian mengetik tempat tujuannya dan memencet tombol 'SEND'. “Kita Cuma bisa nunggu.” Kata Rian. Kami menunggu selama 1 jam. 15 menit kemudian lampu mesin waktu menyala dan buku itu kembali.
“Alhamdulillah! Horee!! Kita berhasil!!!!” kami berteriak kegirangan. “Mau pergi sekarang?” tanya Rian yang aku jawab dengan anggukan mantap. “Ga izin orangtua dulu? Atau bekel buat di sana?” tanya Rian lagi. “Ga usah! Nanti aja! Ayo! Aku udah ga sabar nih!” rengekku. “Oke, oke.” Kata Rian mengangguk. Dia mengetik Perbatasan Rafah, Palestina di layar dan memencet tombol 'SEND'.
Sensasi yang sangat tidak nyaman menggeluti badan dan pikiranku. Aku berpikir, apakah buku tadi juga merasakan hal yang sama? Rasanya tidak.
bersambung...

No comments:

Post a Comment