Sunday, October 17, 2010

Tenagaku untuk Saudaraku 2

PSYIUUU… JDERR… JDDEERR!!! Aku kaget mendengar suara keras yang ternyata berasal dari batu pecah yang ada di sampingku. Aku menatap ke depan. Tentara Israel dan beberapa tank mendekat ke arah kami. Aku memandang Rian yang juga tengah memerhatikan ke arah yang sama denganku tadi. Kemudian aku mendengar sayup-sayup suara bapak-bapak menggunakan bahasa arab berteriak, aku menengok.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya sang bapak dalam bahasa arab. “Ha! Dia ngomong apa?” tanyaku pada Rian dengan suara berbisik. Rian hanya mengangkat bahu tanda tak mengerti. “Ayo pergi! Di sini berbahaya!” bapak itu meninggalkan kami dengan setengah berlari. “Aku ga ngerti bahasa arab.” Rian berbisik padaku. Lalu aku melihat bapak itu berbalik ke arah kami, “hey, pemuda! Ayo ikut aku!” Sang bapak kembali berteriak sambil menggoyangkan tangannya. “Kayaknya dia nyuruh kita buat ngikutin dia, deh. Ayo!” seruku. Kemudian kami menyusul bapak itu.

Kami sampai di sebuah rumah kecil yang sudah agak rapuh. Bapak itu kemudian mengetuk daun pintunya sambil mengucap salam, “assalamu’alaikum!” kami mendengar jawaban suara anak-anak kecil dari dalam. Dan benar saja, yang membukanya adalah anak yang berumur kira-kira 8 tahun. Di belakangnya ada wanita dewasa berjilbab yang kuduga istri dari bapak ini.

“Wa’alaikum salam! Abi!!!” seru sang anak disambut teriakan dari adik-adiknya di dalam. “Bagaimana keadaan di luar, Abi?” tanya sang istri. “Tambah buruk. Mereka semakin gencar melancarkan serangan-serangan ke kita.” Sang bapak kemudian mencium anak-anaknya. “Bagaimana kalian di rumah?” tanya abi. “Baik, Abi!” jawab mereka. “Oh ya, tadi abi ketemu mereka di jalan. Kalian berasal dari mana?” tanya Abi. “Indonesia.” Jawab Rian. “Di mana itu?” tanya istri si Abi. “Eh… tempat yang sangat jauh dari sini.” Sekarang giliranku yang menjawab. Kenapa aku jadi ngerti omongan mereka? Kan, aku ga bisa bahasa arab? Ah, nanti aja mikirnya, batinku. Aku menoleh ke arah Rian yang juga keheranan.

DUAARR… tiba-tiba bunyi meriam terdengar keras membuat telingaku sakit. Abi mengecek keluar melalui jendela. Banyak tank-tank mengeluarkan peluru-peluru untuk menghancurkan bangunan-bangunan yang menghalangi jalannya.

“Kita ga bisa tinggal di sini lagi. Ayo pergi!” perintah abi pada keluarganya. “Kalian juga. Ayo ikut dengan kami!” Abi mengajak kami. Tanpa berpikir dua kali kami langsung menerima ajakan itu. Kami keluar lewat satu-satunya pintu yang kami lewati tadi tanpa membawa apa-apa.

“Ke mana kita pergi?” tanya Rian pada abi. “Rumah pengungsian di pinggir kota.” Jawab abi sambil membimbing kami keluar dari rumah itu. Aku dan Rian hanya mengikuti tanpa suara di belakang keluarga itu. 100 meter sudah kami berlari dan bersembunyi di antara puing-puing bangunan. Ketika aku menengok ke belakang, rumah itu sudah rubuh terkena puing dari bangunan di sebelahnya. Melihatnya membuatku merinding, “Ya ALLAH, hamba baru 10 menit di tempat ini, tapi hamba sudah merasa rapuh.” Aku memelas kepada-Nya.

Sudah 3 km kami berjalan dalam diam, tapi tak ada tanda-tanda tenda tempat orang tinggal. Kami bertemu dengan 2 orang israel lengkap dengan senjatanya. Namun, mereka acuh seakan tidak orang yang melewati mereka. Kemudian aku melihat ada beberapa bangunan yang menyembul dari berbukit-bukit puing reruntuhan bangunan. “Alhamdulillah, akhirnya kita sampai.” Aku mendengar Abi berbicara. Kami menghampiri tenda yang paling dekat dengan kami.

“Assalamu’alaikum!” terdengar jawaban dari dalam. Seorang ibu menyibakkan pintu untuk kami. Ketika aku melihat ke dalam, ada lautan manusia yang beberapa dari mereka mendongak menatap kami. Orang-orang itu tampaknya sudah mengalami cobaan yang sangat berat. Terlihat dari wajah dan mata mereka.

“Syekh Zahid ada?” tanya Abi membuyarkan lamunanku. “Abi sedang mengecek tenda lain bersama Ibrahim dan Yusuf yang akan ditempati. Ada apa dengan kalian? Ayo duduk dulu.” Kata ibu itu yang merupakan istri dari Syekh Zahid. Kami duduk di tempat yang telah disediakan. “Rumah kami hancur karena meriam mereka.” Terang Abi. “Sebelumnya saya bertemu mereka di jalan. Mereka dari Indonesia.” Ibu itu memandang kami, seorang anak perempuan dan laki-laki berumur 16 tahun, lalu tersenyum. “Ummi senang kalian datang.” Ucapnya. Entah mengapa bulu kudukku berdiri dan aku merasa hangat.

Tak lama kemudian aku mendengar suara laki-laki di luar tenda. Masuklah 3 orang laki-laki yang dua di antaranya sekitar berumur 20 tahun dan satu lagi sekitar 60 tahun. “Kita harus membantu mereka yang ada di luar. Abu Hasan tertembak. Sementara Abu Umar dan yang lainnya sedang mengadakan perlawanan diperbatasan tepi barat.” Aku mendengar salah satu laki-laki berumur 20 tahun berbicara pada ibu dan Abi. Mereka mengangguk mendengarnya.

“Saudara-saudaraku, sebentar lagi kita akan keluar untuk membantu saudara-saudara kita di luar sana. Para remaja yang sudah sembuh dan cukup kuat bisa membantu. Ibu-ibu dan anak-anak akan ke tempat lain untuk dievakuasi mengikuti ummi.” Seru laki-laki itu.

“Saya mau ikut!” aku menunjuk tangan dan bersuara lantang. Laki-laki itu memandangku. “Tapi kamu perempuan. Sebaiknya kamu ikut bersama ibu-ibu lain.” Jawabnya.

“Tidak masalah apakah saya seorang perempuan atau laki-laki. Saya merasa cukup kuat untuk melawan para zionis itu. Dan memang inilah tujuan saya datang kemari. Untuk melawan mereka. Saya tidak tahan duduk diam sementara saudara-saudara saya berperang dan syahid.” Aku membantah pernyataan laki-laki tersebut. Kulihat dia memandangku dengan sungguh-sungguh dan aku menatapnya dengan pandangan yang sama.

“Kami akan maju bersama kalian. Begitu juga dengan anak-anak. Bukankah kita memang biasa melakukan bersama, tanpa memandang laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak-anak?” tanya seorang ibu dengan suara keras. “Ibrahim, ummi rasa Ummu Hana benar. Kita sama-sama menjaga negeri kita. Allah akan menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya.” Nasihat ummi. “Baiklah.” Satu kata itu membuatku tersenyum dan berucap, “alhamdulillah.” Rian tersenyum melihatku. Kami bersiap-siap menuju medan pertempuran.

“Rian, kita bawa apa nih? Kita kan belom ada persiapan sama sekali.” Ujarku pada Rian yang sedang antre mau keluar ruangan. “Kita pake aja puing-puing bangunan. Pasti banyak di sana. Kalo kurang tinggal ambil, kalo keabisan yang ada di sekitar, ngumpet aja dulu di balik bangunan. Insya Allah ga ketauan. Baru deh lari ngambil batu lagi. Gimana?” tanya Rian sambil nyengir lebar. “Oke. Di saat kayak gini masih sempet-sempetnya nyengir.” Protesku yang hanya ditanggapi senyum Rian.


bersambung...

No comments:

Post a Comment