Monday, October 18, 2010

Tenagaku untuk Saudaraku 3

Begitu sampai di luar, aku melihat anak-anak langsung menyebar ke sana kemari mencari musuh. Batu sudah siap di tangan mereka. Semua orang termasuk aku juga sudah bersiap-siap. Aku melihat seorang sniper israel sedang membidik musuh yang masuk ke daerah perbatasan. Aku mengerti, mereka tidak akan menembak kecuali ada di perbatasan. Aku juga membidik sang sniper, mengukur jarak dan berapa kira-kira tenaga yang harus aku keluarkan. “Bismillahirrahmanirrahim. Allahu akbar!” aku berteriak dan melemparkan batu puing itu ke arahnya.

“Alhamdulillah! Yes, kena kepala!” seruku. “Tapi keliatannya Cuma sempoyongan! Ayo kita cari lagi!” ajak Rian. Aku juga sadar kalau sang sniper hanya terjatuh kemudian kembali ke posisi semula sambil mulai menembaki saudaraku yang lain. Aku makin kesal. Aku terus melempar ke semua musuh yang aku lihat. Aku terus melempar hingga tenagaku habis. Semua orang yang setenda denganku beberapa telah syahid. Aku mau seperti itu! Aku berteriak di dalam hati.

Sementara itu, aku melihat Rian memegang senjata api. “Dari mana kamu dapet ini?” tanyaku sambil terus melempar ke arah perbatasan. “Ngambil dari saudara kita yang tewas. Pelurunya tinggal tiga. Jadi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.” Jawab Rian sambil melihat situasi. Ia melihat banyak anak-anak yang mencoba menerobos perbatasan tertembak dan terlindas tank. Lalu ia pun juga melihat sebuah senjata diarahkan ke sahabatnya. Walaupun tidak melihat wajah si empunya senjata, tapi Rian tahu di belakangnya pasti ada orang. Rian mengambil ancang-ancang dan berbisik, “bismillahirrahmaanirrahiim, Allahu akbar!” dalam seketika senjata itu jatuh dan orang di belakangnya tewas.

Aku lengah, jalanku terseok-seok karena kakiku tertembak. Ketika aku mengangkat tangan untuk melempar, bahuku terasa panas dan sakit yang sangat luar biasa. Aku lihat bahuku berdarah. Ternyata penembak yang ditembak Rian sudah lebih dahulu menembak dan berhasil mengenai bahuku.

Aku terjatuh. Namun, tubuhku tidak jatuh ke bumi, seperti ada yang menopang. Setelah kubuka mataku, wanita berjilbab cokelat tersenyum di hadapanku. Aku terlalu lemah untuk membalasnya. Aku pingsan.

Ketika aku terbangun, suasana tenda memenuhi mataku. Aku melihat Rian yang sedang duduk di sampingku dan bangun perlahan. “Gimana akhirnya?” tanyaku pada Rian yang ada di sebelahku. Rian menjawab sambil menghela napas. “Aku ga tau. Yang pasti banyak dari kita yang terluka. Itu ngakibatin kita harus mundur ngerawat yang luka-luka dulu. Kamu sendiri gimana? Masih sakit bahunya?”

“Yaah, lumayanlah. Sakitnya sedikit-sedikit.” Jawabku agak meringis. “Sebaiknya kalian pulang. Di sini bukan tempat kalian.” Kata Abi menghampiri kami begitu melihatku sadar. Aku dan Rian tertunduk. Sebenarnya, aku masih mau di sini. “Aku juga berpikir begitu, Far.” Sahut Rian pada akhirnya. “Kita udah nyumbang tenaga kita sekarang walau ga tau kita menang atau kalah. Tapi yang pasti, kita udah melakukan lebih.” Aku hanya mengangguk pasrah. Setelah agak cukup kuat, kami berpamitan kepada keluarga Abi dan ibu. “Terima kasih, nak, sudah datang. Semoga selamat sampai tujuan.” Kata Abi. Aku tersenyum. “Assalamu’alaikum.” Kata Rian. “Wa’alaikum salam.” Jawaban itu terasa seperti perpisahan dan kita tidak akan bertemu lagi.

Kami meninggalkan tenda tersebut. 15 menit kami berjalan, tapi tidak ada tanda-tanda mesin waktu. “Di mana mesin waktunya?” tanya Rian di tengah perjalanan. “Kayaknya ada di tengah kota. Kita ke sana sekarang.” Jawabku. Butuh 3 jam untuk sampai ke tengah kota. Seperti biasa, kami bertemu dengan para tentara lengkap dengan senjata. “Huh, gara-gara mereka aku jadi kayak gini! Pokoknya aku benci mereka seumur hidupku!” Ujarku dalam bahasa Indonesia. “Itu dia. Ayo!” seru Rian.

Mesin waktu itu ada di salah satu reruntuhan rumah. Kami harus membongkar puing-puing itu. Rian tidak mengizinkanku membantu, “bahumu bisa tambah parah nanti! Entar aku juga yang repot!” sahutnya ketika melihatku mau membantunya. Ketika selesai membongkar, kami naik ke atas papan lingkaran berkaca. Untuk terakhir kalinya aku melihat dan merasakan suasana di Palestina. Aku berdo’a, semoga bisa kembali ke sini dan lebih banyak membantu daripada sekarang. Rian mengetik tujuan ke Depok, Indonesia. Berangkatlah kami ke sana.

Ketika kami sampai, aku merasa ada sesuatu yang berubah dengan Indonesia. Kenapa jadi banyak pasir begini. “Kita ga salah tempat, kan?” tanyaku. Aku mengedarkan pandangan. Ada sebuah masjid yang sering kulihat digambar pajang-pajangan, masjid itu mengeluarkan cahaya yang berasal dari lampu-lampu yang dipasang karena petang datang. Masjidil Haram-kah? Aku sedikit melongok ke dalam. Ha! Ka’bah? Dan orang-orang ini berihram? Jangan-jangan…

“Mekkah!” seru kami berdua, antara geli dan aneh. “Kita ngapain di sini?” tanyaku lagi. Rian mengangkat bahunya kemudian berjalan ke arah pasar. “Kita cari mesin waktunya sampe ketemu.” Aku terenyak dan mengikutinya. Tapi setidaknya aku sudah mendapatkan apa yang aku mau. Benar kata Rian, sedekah itu tidak Cuma dengan harta, tapi bisa dengan tenaga. Dan aku sudah melakukan itu hampir tujuh jam yang lalu. Semoga pelajaran ini bermanfaat untuk diriku dan orang lain.

“Rian!!! Tunggu!!” aku berteriak dan berlari menghampiri Rian yang sudah berjalan jauh di depanku.

created by : f - ide cerita : aar

1 comment:

  1. Hmm...sebuah cerita yg menarik, saat membacanya bisa membuat pembaca tersenyum, berimajinasi suasana perang Palestin dan idenya cerdas. Hanya saja sedikit janggal di bagian akhirnya..but overall, it's a great short story! Idenya dari aar? hehe, sebuah kolaborasi yg bagus. Ga salah klo cerita ini menang ya dlm lomba cerpen remaja kemarin. Selamat buat Fath!

    ReplyDelete