Monday, October 18, 2010

Tenagaku untuk Saudaraku 3

Begitu sampai di luar, aku melihat anak-anak langsung menyebar ke sana kemari mencari musuh. Batu sudah siap di tangan mereka. Semua orang termasuk aku juga sudah bersiap-siap. Aku melihat seorang sniper israel sedang membidik musuh yang masuk ke daerah perbatasan. Aku mengerti, mereka tidak akan menembak kecuali ada di perbatasan. Aku juga membidik sang sniper, mengukur jarak dan berapa kira-kira tenaga yang harus aku keluarkan. “Bismillahirrahmanirrahim. Allahu akbar!” aku berteriak dan melemparkan batu puing itu ke arahnya.

“Alhamdulillah! Yes, kena kepala!” seruku. “Tapi keliatannya Cuma sempoyongan! Ayo kita cari lagi!” ajak Rian. Aku juga sadar kalau sang sniper hanya terjatuh kemudian kembali ke posisi semula sambil mulai menembaki saudaraku yang lain. Aku makin kesal. Aku terus melempar ke semua musuh yang aku lihat. Aku terus melempar hingga tenagaku habis. Semua orang yang setenda denganku beberapa telah syahid. Aku mau seperti itu! Aku berteriak di dalam hati.

Sementara itu, aku melihat Rian memegang senjata api. “Dari mana kamu dapet ini?” tanyaku sambil terus melempar ke arah perbatasan. “Ngambil dari saudara kita yang tewas. Pelurunya tinggal tiga. Jadi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.” Jawab Rian sambil melihat situasi. Ia melihat banyak anak-anak yang mencoba menerobos perbatasan tertembak dan terlindas tank. Lalu ia pun juga melihat sebuah senjata diarahkan ke sahabatnya. Walaupun tidak melihat wajah si empunya senjata, tapi Rian tahu di belakangnya pasti ada orang. Rian mengambil ancang-ancang dan berbisik, “bismillahirrahmaanirrahiim, Allahu akbar!” dalam seketika senjata itu jatuh dan orang di belakangnya tewas.

Aku lengah, jalanku terseok-seok karena kakiku tertembak. Ketika aku mengangkat tangan untuk melempar, bahuku terasa panas dan sakit yang sangat luar biasa. Aku lihat bahuku berdarah. Ternyata penembak yang ditembak Rian sudah lebih dahulu menembak dan berhasil mengenai bahuku.

Aku terjatuh. Namun, tubuhku tidak jatuh ke bumi, seperti ada yang menopang. Setelah kubuka mataku, wanita berjilbab cokelat tersenyum di hadapanku. Aku terlalu lemah untuk membalasnya. Aku pingsan.

Ketika aku terbangun, suasana tenda memenuhi mataku. Aku melihat Rian yang sedang duduk di sampingku dan bangun perlahan. “Gimana akhirnya?” tanyaku pada Rian yang ada di sebelahku. Rian menjawab sambil menghela napas. “Aku ga tau. Yang pasti banyak dari kita yang terluka. Itu ngakibatin kita harus mundur ngerawat yang luka-luka dulu. Kamu sendiri gimana? Masih sakit bahunya?”

“Yaah, lumayanlah. Sakitnya sedikit-sedikit.” Jawabku agak meringis. “Sebaiknya kalian pulang. Di sini bukan tempat kalian.” Kata Abi menghampiri kami begitu melihatku sadar. Aku dan Rian tertunduk. Sebenarnya, aku masih mau di sini. “Aku juga berpikir begitu, Far.” Sahut Rian pada akhirnya. “Kita udah nyumbang tenaga kita sekarang walau ga tau kita menang atau kalah. Tapi yang pasti, kita udah melakukan lebih.” Aku hanya mengangguk pasrah. Setelah agak cukup kuat, kami berpamitan kepada keluarga Abi dan ibu. “Terima kasih, nak, sudah datang. Semoga selamat sampai tujuan.” Kata Abi. Aku tersenyum. “Assalamu’alaikum.” Kata Rian. “Wa’alaikum salam.” Jawaban itu terasa seperti perpisahan dan kita tidak akan bertemu lagi.

Kami meninggalkan tenda tersebut. 15 menit kami berjalan, tapi tidak ada tanda-tanda mesin waktu. “Di mana mesin waktunya?” tanya Rian di tengah perjalanan. “Kayaknya ada di tengah kota. Kita ke sana sekarang.” Jawabku. Butuh 3 jam untuk sampai ke tengah kota. Seperti biasa, kami bertemu dengan para tentara lengkap dengan senjata. “Huh, gara-gara mereka aku jadi kayak gini! Pokoknya aku benci mereka seumur hidupku!” Ujarku dalam bahasa Indonesia. “Itu dia. Ayo!” seru Rian.

Mesin waktu itu ada di salah satu reruntuhan rumah. Kami harus membongkar puing-puing itu. Rian tidak mengizinkanku membantu, “bahumu bisa tambah parah nanti! Entar aku juga yang repot!” sahutnya ketika melihatku mau membantunya. Ketika selesai membongkar, kami naik ke atas papan lingkaran berkaca. Untuk terakhir kalinya aku melihat dan merasakan suasana di Palestina. Aku berdo’a, semoga bisa kembali ke sini dan lebih banyak membantu daripada sekarang. Rian mengetik tujuan ke Depok, Indonesia. Berangkatlah kami ke sana.

Ketika kami sampai, aku merasa ada sesuatu yang berubah dengan Indonesia. Kenapa jadi banyak pasir begini. “Kita ga salah tempat, kan?” tanyaku. Aku mengedarkan pandangan. Ada sebuah masjid yang sering kulihat digambar pajang-pajangan, masjid itu mengeluarkan cahaya yang berasal dari lampu-lampu yang dipasang karena petang datang. Masjidil Haram-kah? Aku sedikit melongok ke dalam. Ha! Ka’bah? Dan orang-orang ini berihram? Jangan-jangan…

“Mekkah!” seru kami berdua, antara geli dan aneh. “Kita ngapain di sini?” tanyaku lagi. Rian mengangkat bahunya kemudian berjalan ke arah pasar. “Kita cari mesin waktunya sampe ketemu.” Aku terenyak dan mengikutinya. Tapi setidaknya aku sudah mendapatkan apa yang aku mau. Benar kata Rian, sedekah itu tidak Cuma dengan harta, tapi bisa dengan tenaga. Dan aku sudah melakukan itu hampir tujuh jam yang lalu. Semoga pelajaran ini bermanfaat untuk diriku dan orang lain.

“Rian!!! Tunggu!!” aku berteriak dan berlari menghampiri Rian yang sudah berjalan jauh di depanku.

created by : f - ide cerita : aar

Sunday, October 17, 2010

Tenagaku untuk Saudaraku 2

PSYIUUU… JDERR… JDDEERR!!! Aku kaget mendengar suara keras yang ternyata berasal dari batu pecah yang ada di sampingku. Aku menatap ke depan. Tentara Israel dan beberapa tank mendekat ke arah kami. Aku memandang Rian yang juga tengah memerhatikan ke arah yang sama denganku tadi. Kemudian aku mendengar sayup-sayup suara bapak-bapak menggunakan bahasa arab berteriak, aku menengok.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya sang bapak dalam bahasa arab. “Ha! Dia ngomong apa?” tanyaku pada Rian dengan suara berbisik. Rian hanya mengangkat bahu tanda tak mengerti. “Ayo pergi! Di sini berbahaya!” bapak itu meninggalkan kami dengan setengah berlari. “Aku ga ngerti bahasa arab.” Rian berbisik padaku. Lalu aku melihat bapak itu berbalik ke arah kami, “hey, pemuda! Ayo ikut aku!” Sang bapak kembali berteriak sambil menggoyangkan tangannya. “Kayaknya dia nyuruh kita buat ngikutin dia, deh. Ayo!” seruku. Kemudian kami menyusul bapak itu.

Kami sampai di sebuah rumah kecil yang sudah agak rapuh. Bapak itu kemudian mengetuk daun pintunya sambil mengucap salam, “assalamu’alaikum!” kami mendengar jawaban suara anak-anak kecil dari dalam. Dan benar saja, yang membukanya adalah anak yang berumur kira-kira 8 tahun. Di belakangnya ada wanita dewasa berjilbab yang kuduga istri dari bapak ini.

“Wa’alaikum salam! Abi!!!” seru sang anak disambut teriakan dari adik-adiknya di dalam. “Bagaimana keadaan di luar, Abi?” tanya sang istri. “Tambah buruk. Mereka semakin gencar melancarkan serangan-serangan ke kita.” Sang bapak kemudian mencium anak-anaknya. “Bagaimana kalian di rumah?” tanya abi. “Baik, Abi!” jawab mereka. “Oh ya, tadi abi ketemu mereka di jalan. Kalian berasal dari mana?” tanya Abi. “Indonesia.” Jawab Rian. “Di mana itu?” tanya istri si Abi. “Eh… tempat yang sangat jauh dari sini.” Sekarang giliranku yang menjawab. Kenapa aku jadi ngerti omongan mereka? Kan, aku ga bisa bahasa arab? Ah, nanti aja mikirnya, batinku. Aku menoleh ke arah Rian yang juga keheranan.

DUAARR… tiba-tiba bunyi meriam terdengar keras membuat telingaku sakit. Abi mengecek keluar melalui jendela. Banyak tank-tank mengeluarkan peluru-peluru untuk menghancurkan bangunan-bangunan yang menghalangi jalannya.

“Kita ga bisa tinggal di sini lagi. Ayo pergi!” perintah abi pada keluarganya. “Kalian juga. Ayo ikut dengan kami!” Abi mengajak kami. Tanpa berpikir dua kali kami langsung menerima ajakan itu. Kami keluar lewat satu-satunya pintu yang kami lewati tadi tanpa membawa apa-apa.

“Ke mana kita pergi?” tanya Rian pada abi. “Rumah pengungsian di pinggir kota.” Jawab abi sambil membimbing kami keluar dari rumah itu. Aku dan Rian hanya mengikuti tanpa suara di belakang keluarga itu. 100 meter sudah kami berlari dan bersembunyi di antara puing-puing bangunan. Ketika aku menengok ke belakang, rumah itu sudah rubuh terkena puing dari bangunan di sebelahnya. Melihatnya membuatku merinding, “Ya ALLAH, hamba baru 10 menit di tempat ini, tapi hamba sudah merasa rapuh.” Aku memelas kepada-Nya.

Sudah 3 km kami berjalan dalam diam, tapi tak ada tanda-tanda tenda tempat orang tinggal. Kami bertemu dengan 2 orang israel lengkap dengan senjatanya. Namun, mereka acuh seakan tidak orang yang melewati mereka. Kemudian aku melihat ada beberapa bangunan yang menyembul dari berbukit-bukit puing reruntuhan bangunan. “Alhamdulillah, akhirnya kita sampai.” Aku mendengar Abi berbicara. Kami menghampiri tenda yang paling dekat dengan kami.

“Assalamu’alaikum!” terdengar jawaban dari dalam. Seorang ibu menyibakkan pintu untuk kami. Ketika aku melihat ke dalam, ada lautan manusia yang beberapa dari mereka mendongak menatap kami. Orang-orang itu tampaknya sudah mengalami cobaan yang sangat berat. Terlihat dari wajah dan mata mereka.

“Syekh Zahid ada?” tanya Abi membuyarkan lamunanku. “Abi sedang mengecek tenda lain bersama Ibrahim dan Yusuf yang akan ditempati. Ada apa dengan kalian? Ayo duduk dulu.” Kata ibu itu yang merupakan istri dari Syekh Zahid. Kami duduk di tempat yang telah disediakan. “Rumah kami hancur karena meriam mereka.” Terang Abi. “Sebelumnya saya bertemu mereka di jalan. Mereka dari Indonesia.” Ibu itu memandang kami, seorang anak perempuan dan laki-laki berumur 16 tahun, lalu tersenyum. “Ummi senang kalian datang.” Ucapnya. Entah mengapa bulu kudukku berdiri dan aku merasa hangat.

Tak lama kemudian aku mendengar suara laki-laki di luar tenda. Masuklah 3 orang laki-laki yang dua di antaranya sekitar berumur 20 tahun dan satu lagi sekitar 60 tahun. “Kita harus membantu mereka yang ada di luar. Abu Hasan tertembak. Sementara Abu Umar dan yang lainnya sedang mengadakan perlawanan diperbatasan tepi barat.” Aku mendengar salah satu laki-laki berumur 20 tahun berbicara pada ibu dan Abi. Mereka mengangguk mendengarnya.

“Saudara-saudaraku, sebentar lagi kita akan keluar untuk membantu saudara-saudara kita di luar sana. Para remaja yang sudah sembuh dan cukup kuat bisa membantu. Ibu-ibu dan anak-anak akan ke tempat lain untuk dievakuasi mengikuti ummi.” Seru laki-laki itu.

“Saya mau ikut!” aku menunjuk tangan dan bersuara lantang. Laki-laki itu memandangku. “Tapi kamu perempuan. Sebaiknya kamu ikut bersama ibu-ibu lain.” Jawabnya.

“Tidak masalah apakah saya seorang perempuan atau laki-laki. Saya merasa cukup kuat untuk melawan para zionis itu. Dan memang inilah tujuan saya datang kemari. Untuk melawan mereka. Saya tidak tahan duduk diam sementara saudara-saudara saya berperang dan syahid.” Aku membantah pernyataan laki-laki tersebut. Kulihat dia memandangku dengan sungguh-sungguh dan aku menatapnya dengan pandangan yang sama.

“Kami akan maju bersama kalian. Begitu juga dengan anak-anak. Bukankah kita memang biasa melakukan bersama, tanpa memandang laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak-anak?” tanya seorang ibu dengan suara keras. “Ibrahim, ummi rasa Ummu Hana benar. Kita sama-sama menjaga negeri kita. Allah akan menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya.” Nasihat ummi. “Baiklah.” Satu kata itu membuatku tersenyum dan berucap, “alhamdulillah.” Rian tersenyum melihatku. Kami bersiap-siap menuju medan pertempuran.

“Rian, kita bawa apa nih? Kita kan belom ada persiapan sama sekali.” Ujarku pada Rian yang sedang antre mau keluar ruangan. “Kita pake aja puing-puing bangunan. Pasti banyak di sana. Kalo kurang tinggal ambil, kalo keabisan yang ada di sekitar, ngumpet aja dulu di balik bangunan. Insya Allah ga ketauan. Baru deh lari ngambil batu lagi. Gimana?” tanya Rian sambil nyengir lebar. “Oke. Di saat kayak gini masih sempet-sempetnya nyengir.” Protesku yang hanya ditanggapi senyum Rian.


bersambung...

Saturday, October 16, 2010

Tenagaku untuk Saudaraku 1


“Pengen banget rasanya bantu-bantu di Palestin,” kataku sambil menerawang, “tapi ga punya uang.”
“Kenapa ngomong sendiri?” tanya Rian. “Eh, nggak! Aku pengen ngebantuin temen-temen yang ada di Palestin. Nyesek banget ngeliat mereka kesusahan ngelawan tuh para zionis. Tapi aku ga punya uang.” Jawabku.
“Hei! Yang namanya sedekah itu, kan, ga Cuma pake duit. Makanan, bisa. Obat-obatan juga, tenaga, boleh banget! Tapi kalo tenaga kamu harus mememenuhi persyaratan dulu.” Jelas Rian padaku yang tengah mendengarkannya dengan khusyu’.
“Yah, nambah susah deh!” seruku putus asa. “Coba kalo aku punya mesin waktu atau pintu ke mana saja kayak punya doraemon, pastinya aku bisa langsung ke sana sekarang. Hah… aku malah pengen syahid.” Aku melamun lagi. Rian hanya melihatku sambil tersenyum. “Temenku ini emang ga bakal nyerah.” Batin Rian.
“Ya udah, daripada kamu muram begitu, mending kita masuk kelas. Udah bel, nih! Nanti pas sholat zhuhur kamu do’a minta mesin waktu atau pintu ke mana saja, biar cita-citamu tercapai. Kalo bisa tambahin ama tahajjud tuh! Oh ya, kalo udah kesampean, kamu ajak aku! Kalo mau ngumpulin pahala bareng-bareng ama aku! Oke?” cerocos Rian. “Iya, iya. Mau sampe kapan kamu ngomong melulu? Ayo, masuk!” ajakku.
Waktu zhuhur tiba, aku tak lupa berdo’a meminta mesin waktu atau pintu ke mana saja atau alternatif lain untuk pergi Palestina. Ya Allah, aku hanya ingin bersedekah untuk mereka, aku membatin. Setelah mengakhiri dan mengamini do’a, aku langsung pulang. Tak sabar menunggu hari esok.
Hari minggu merupakan hari yang aku tunggu. Ke rumah kakek! Aku senang di sana banyak barang antik. Ketika sedang berjalan-jalan sendiri tanpa arah, tanpa sengaja aku masuk ke dalam gudang yang jauh dari rumah kakek yang belum pernah aku lihat.
Aku memasuki gudang tersebut. Melihat-lihat, sampai terkejut dengan sebuah benda asing berdebu, “apaan nih?” aku berbicara sendiri, menatap benda aneh tapi antik itu. Ada papan berdebu dan aku berusaha membacanya, “Mesin Waktu”. Aku tak mengacuhkannya dan langsung sibuk melihat-lihat dan mengagumi benda itu. Aku memencet tombol merah dan benda itu nyala. Lalu aku sadar, “Ha! Mesin waktu? Wow!” seruku kagum. “Alhamdulillah!” Aku membatin bersyukur, “akhirnya do’aku terkabul.” Dan tanpa berpikir panjang aku langsung menelepon Rian.
“Assalamu’alaikum! Halo, Rian! Aku Dapet mesin waktunya!” aku berteriak kepada Rian melalui handphone. “Wa’alaikum salam! Hey, ga perlu teriak-teriak! Pelan-pelan aja aku juga udah denger!” seru Rian. “Tapi tadi aku denger kamu udah dapet mesin waktunya? Dari mana?” aku pun menceritakan semua kejadian yang aku alami tadi. “Wow! Cool! Ayo, ajak aku ke rumah kakekmu.” Timpal Rian. “Oke, oke! Udah, ya! Wassalam!” kataku menutup pembicaraan. Kemudian aku mendengar jawaban Rian dan langsung mematikan handphone.
Esok harinya, aku mengajak Rian ke gudang di rumah kakekku. “Oh, ini mesinnya?” tanya Rian. “Iya.” Jawabku pendek. “Udah dicoba?” tanyanya lagi. “Belum.” Jawabku pendek juga. “Kita jajal dulu. Aku takut kenapa-kenapa, nanti kita malah nyasar lagi.” Saran Rian.
Mendengar saran Rian aku pun langsung mencari bahan percobaan. Kutemukan buku tua yang ada di atas meja tua di pojok ruangan. “Ini aja.” Aku menyerahkan bukunya. “Kita kirim ini ke tempat lain. Pastinya di tempat lain ada mesin ini juga. Kalo mereka kirim balik, berarti mesin waktu ini masih berfungsi dengan baik.” Kataku.
“Oke, sini!” Rian menaruh buku itu di atas papan lingkaran kaca pipih mesin waktu tersebut kemudian mengetik tempat tujuannya dan memencet tombol 'SEND'. “Kita Cuma bisa nunggu.” Kata Rian. Kami menunggu selama 1 jam. 15 menit kemudian lampu mesin waktu menyala dan buku itu kembali.
“Alhamdulillah! Horee!! Kita berhasil!!!!” kami berteriak kegirangan. “Mau pergi sekarang?” tanya Rian yang aku jawab dengan anggukan mantap. “Ga izin orangtua dulu? Atau bekel buat di sana?” tanya Rian lagi. “Ga usah! Nanti aja! Ayo! Aku udah ga sabar nih!” rengekku. “Oke, oke.” Kata Rian mengangguk. Dia mengetik Perbatasan Rafah, Palestina di layar dan memencet tombol 'SEND'.
Sensasi yang sangat tidak nyaman menggeluti badan dan pikiranku. Aku berpikir, apakah buku tadi juga merasakan hal yang sama? Rasanya tidak.
bersambung...

Monday, October 11, 2010

Aku tak butuh...

Pernahkah kau merasa jiwamu rapuh?
Kapankah itu? Boleh ku tahu?
Mungkin kau akan setengah melamun ketika kau menceritakannya padaku
Tapi itu suatu pengingkaran untukku. Aku akan dengan hati terbuka menceritakannya
tapi kau harus menerima resikonya
Kau akan melihatku menangis tertahan menahan semua pedih, kesal, kecewa atau apapun itu
Menangisinya hingga mungkin kau akan marah atau menangis atau iba
Atau mungkin kau hanya terdiam mendengar semuanya sambil mengelus punggungku dan berkata,
"Jangan menangis!" atau "sudah,"
Namun apa kau tahu?
Aku TIDAK butuh kalimat atau kata penghibur
Aku TAK butuh elusan punggungmu
Aku TIDAK butuh rasa ibamu, atau tangismu, atau marahmu
Yang sangat ku butuhkan adalah
pundak di mana ia akan menerima semua keluhku
pundak di mana ia akan diam saja tak bergerak sampai aku merasa tenang
Benar, kawan
Pundak itulah yang sangat ku butuhkan saat ini
TAPI...
ia tak ada di sisiku lagi
kami telah berpisah
pundak sahabatku
Jiwaku tak kuat menahan bendungan emosi ini
terlalu berat
berat, kawan...

He Never Understand Me

dia tidak pernah tahu keadaanku
dia tidak pernah mengerti aku
sekalipun dia bilang dia mengerti aku
dia tak mengenalku, dan
aku tak mengenalnya
kita sama-sama tak kenal
tekanannya membuatku takut
permintaannya membuatku tak menentu
kata-katanya membuatku kalut
kritiknya membuatku membeku
dia tak mengerti aku
pandangannya membuatku takut
hingga aku terus menangis karena itu
aku merasakan itu hari ini
tidak bisa berhenti air mata ini
terlalu sulit, karena
dia tak pernah mengerti aku
Dance me to your heart
keep me safely in
Dance me to the fire
flames burning
music of desire

Dance me to your night
stars shining
under the moon's light
Dance me to the dawn
morning bright
hear the winds sing our song

Dance me to the sky
soaring free
give me wings to fly

Dance me to your heart
keep me safely in
dance with me in your heart
...
source : Asma Nadia book "Jadian, boleh dong?"

If I could

If I could
I would always tell the truth
I would always love you
from the heart

If I could
I would take you in my arms
Take you inside
into my heart

If I could
I would be the place you turn
when you're feeling lonely
Or afraid
I would shine
Like a lantern in the dark

Take you inside
Into my heart
When you feel as if
you don't know who you are
I'll remind you with my love

If I could
I would always keep you safe
Take you inside
into my heart
When you feel as if
You simply can't go on
I'll remind you that you're strong!

If I could
I would love you as you are
Take you inside
into my heart
into my arms
into... my life
source : Asma Nadia book "Jadian, boleh dong?"

Puisi Putih

Maybe, in another time...
You might hear me
Above the din of crowd's approval
The tiny little song beneath the roar

Perhaps, in some other place...
You may see me
Out there beyond the glaring footlights
Shining bright and true

Here i am... just me... myself
Nothing to hide, no games to play
Perhaps if i knew the rules
The dance... the script...

Someday, in a warmer space
You will feel me
As other clamor to touch your robe
I'll be in the wings...

Waiting...
source : Asma Nadia book "Jadian, boleh dong?"

Sunday, October 10, 2010

Dari dan Untukmu, kawan...

Untuk :
Sahabatku dari sahabatmu dan untuk semua orang yang mempunyai sahabat di dunia ini. Semoga persahabatanku dan persahabatan kalian tak kan pernah lekang dimakan oleh waktu.


Dari :
Sahabat tercintamu yang selalu membutuhkanmu kapan dan di mana pun kau berada. Serta untuk orang yang mempunyai sahabat terdekat yang sedang membutuhkan seorang untuk dijadikan tempat curhat.

Apa kau tahu rasanya meninggalkan seseorang yang kau cintai? Hati ini sakit rasanya. Perasaan khawatir dan bersalah pun selalu menghantui hati. Air mata pun tak terbendung lagi untuk keluar dari tempatnya. Ingin rasanya ku meminta kepada Tuhan, tolong biarkan hamba untuk bersamanya. Tapi akhirnya aku pun sadar, bersamanya tak kan bisa membuatku bahagia selamanya. Aku harus terus bangkit dan memulai semuanya dengan baik. Tak ada waktu untuk memikirkan yang lalu. Yang ada hanya masa depan cerah yang menantiku. Walaupun di dalam hati yang paling dalam tersimpan rasa sedih, kecewa pada diri sendiri, dan perasaan tidak enak lainnya bercampur menjadi satu, aku harus bertahan. Janganlah kau jatuh sebelum waktunya. Dan bangkitlah segera ketika kau jatuh. Aku yakin itulah jalan sebenarnya menuju kebahagiaan dan kesuksesan….

Bohong! Semua yang kutulis adalah kebohongan. Aku masih terpuruk di lubang gelap. Tak mampu untuk bangkit karena tak ada yang membantuku. Tolong aku! Aku asing bagi diriku sendiri. Aku tak mengenal diriku lagi. Semuanya buyar….

Sahabat, ke mana dirimu selama ini? Aku mencarimu sampai ke ujung dunia. Apa kau tak tahu bahwa sahabatmu ini benar-benar membutuhkanmu? Masih dan akan selalu membutuhkanmu? Bantulah diriku yang asing ini untuk mengenali lagi diriku! Tolonglah sahabatku….

Menangis adalah hal terakhir yang dapat kulakukan untuk mengatasi segala permasalahanku. Aku sendiri pun tak mengerti mengapa harus menangis. Mengapa tidak marah? Atau mengapa tak menguburnya dalam-dalam di dalam hatimu? Mengapa menangis?! Menangis adalah satu cara yang sehat untuk menyalurkan emosimu. Saat kau menangis, semua perasaan yang kau pendam akan keluar. Rasa sedih, kecewa, marah, semuanya jadi satu. Aku beruntung menjadi salah satu insan yang dapat merasakan ni’matnya menangis. Thank’s God…!

Kenangan bersama seseorang tak kan dapat terhapus dari dalam ingatan seseorang. Seperti ingatanku bersama sahabat dalam berbagai suka maupun duka. Di kala senang kami bernyanyi bersama, tertawa bersama dan menggila bersama. Tapi di kala duka kami berpelukan dan menangis bersama. Kami mengerti satu sama lain. Kami saling menyayangi. Sahabat, kumohon dalam tulisan yang sedang ku buat, jadikanlah selalu aku sebagai seorang sahabat yang dapat menghargaimu dan memahamimu. Terima kasih atas segala yang telah kau lakukan untukku. Terima kasih atas waktumu untukku. Terima kasih telah menyediakan lembaran kosong untuk ku tumpahkan kepadamu. Terima kasih untuk segala kenangan yang telah kita lakukan. Ku harap kita selalu menjadi sahabat karib selamanya dan tak kan terpisah oleh waktu. Aku menyayangimu….

Kuingat ketika seorang motivator menyuruhku dan teman-temanku yang lain untuk mewawancarai sahabat masing-masing. Aku terlalu bersemangat menceritakan impianku kepada sahabatku itu. Lalu dia pun berkata, “sahabatku yang baik, maafkan aku karena tidak bisa menuliskan impianmu yang begitu banyak.” Tuhan… aku begitu beruntung karena aku mempunyai sahabat yang seperti dia. Tuhan… hamba mohon kepada-Mu, janganlah Engkau pisahkan kami. Jadikanlah kami sebagai sahabat yang selalu saling membutuhkan satu sama lain. Amien….
Temanku,
pemimpin yang baik sudah seharusnya mengkhawatirkan rakyat, tanpa rakyat merasa khawatir.
Aku hanya tak ingin kalian merasakan apa yang tak ingin kutimpakan pada kalian.
Aku begitu khawatir tentang apa yang kalian rasakan.
Aku tak ingin zhalimi siapapun.
Jadi maafkanlah pemimpin kalian.