Sunday, September 5, 2010

J a u h . . .5

Jum’at, 28 April 2011 kelas 1-D sedang sibuk mempersiapkan festival kebudayaan yang akan dilaksanakan esok harinya. Waktu tengah hari pun datang. Seperti biasa, Mizu membawa handycam, yang katanya habis dipinjam Ryu senpai. Aku pun iseng membuka video-video yang ada di dalam handycam. Aku tertawa melihat semua kekonyolan dan tersenyum melihat kekompakan kelas 1-D. Tapi tawa dan senyumanku langsung terhapus begitu aku meng-klik tombol untuk ke video selanjutnya. Pikiranku menjadi kosong beberapa saat, tanganku gemetar, ada sedikit air mata yang akan keluar dan jantung langsung berdetak tak normal. Kedengarannya lebay banget. Tapi memang itu yang terjadi padaku waktu itu. Video Ryu senpai bersama teman-teman kelas 3-D nya. Video-video itu mewakili bagaimana senangnya perasaannya bersama teman-teman dan wali kelas di sebuah tempat. Aku senang melihatnya senang. Tapi aku bingung, mengapa gelagat tidak senangku melihatnya masih ada? Padahal aku sudah menerima kenyataan lahir batin bahwa dia bukan milikku, dan tak kan pernah menjadi milikku dan dia akan pergi ninggalin aku di sekolah ini tanpa menengok kembali.


Sabtu, 29 April 2011. Hari yang ditunggu semua anak kelas 1 Tokyo Gakuen. Hari Festival Kebudayaan. Semua kerja keras, usaha, kekompakan dan kesempurnaan kami akan diuji di hari ini. Kelasku mendapatkan urutan pertama dalam menampilkan seni. Huh… selesai juga! Setengah jam tak terasa.

Begitu lama kami menunggu pengumuman pemenang. Urutan terakhir penampil adalah kelas 1-E, kelas adik Ryu senpai. Aku mendengar dari temanku yang ada di kelas itu kalau Satoshi, adik senpai, akan berperan sebagai Momotaro dewasa. Mendengar hal tersebut aku hanya bisa tersenyum. Tibalah saat kelas 1-E untuk unjuk gigi. Saat itu aku melihat kalau Satoshi dan sang kakak mempunyai kemiripan dari segi wajah, tingkah laku, gaya jalan dan ekspresi. Aku melihatnya berperan sedang bertarung melawan raksasa. Ia menang melawan sang raksasa. Aku menangis. Untungnya aku masih bisa mengontrolnya. Entah mengapa bisa terjadi hal itu. Aku berteriak dalam hati bahwa dia BUKAN Ryu senpai. Dia Cuma sang adik. Namun aku pun menjadi sadar apa yang membuatnya lebih mirip dengan sang kakak. Baju yang ia pakai adalah baju yang Ryu senpai pakai di video yang ada di handycam Mizu. Aku hanya bisa memejamkan mataku. Dan aku hanya bisa berharap semoga tidak ada satu orang pun yang melihat aku menangis.

Gladi bersih wisuda dan pelepasan para kakak senior dilaksanakan pada hari Sabtu, 5 Mei 2011 di Aula Tokyo University. Aku sebagai panitia dalam acara tersebut. Seluruh senior diminta hadir dalam gladi tersebut. Aku berharap Ryu senpai datang. Aku selalu melihat ke arah pintu. Berharap akan ada sosok laki-laki sok cool melewati pintu itu. Tapi aku kecewa. Dia tidak datang. Aku hanya bisa tersenyum samar.

Hari H pun datang. Tanggal 6 Mei 2011, aula Tokyo University dipenuhi 2000 orang. Aku bertugas sebagai pengantar para orang tua murid ke dalam aula. Aku berharap semoga ga kedapetan orang tua senpai. Tapi do’aku tidak terkabul. Inoue senpai datang membawa sebuah keluarga untukku. Sebuah keluarga yang sudah kuketahui siapa anak dari orang tua tersebut. Orang tua Ryu senpai. Aku nyaris bengong melihatnya hari itu. Rambutnya gondrong, kacamata frame hitamnya, jas dan celana hitam dan senyum itu. Aku mengantarkan mereka ke dalam. Dalam perjalanan, sang ibu berhenti untuk bersalaman dengan Nakano Sensei sambil bertanya, “Bagaimana hasilnya?” Nakano Sensei menjawab, “sudah lulus, Bu.” Kemudian aku melihat sang ibu tersenyum, begitu juga sang ayah. Tapi mengapa hati ini sakit begitu mendengar kabar tersebut? Itu merupakan berita yang menyenangkan untuk semua orang. Aku tak tahu. Lalu aku mempersilakan orang tua tersebut masuk ke dalam aula.

Saat dimana pengalungan medali pun tiba. “Hanazawa Ryu.” Kepalaku langsung mendongak ke arah tangga panggung. Di sana berjalanlah laki-laki gila kendo berkacamata. Semua teman dan sebagian besar orang tua bertepuk tangan untuknya. Ya Tuhan… dia lulus. Dia sedang berjalan di atas panggung sambil dikalungkan medali oleh kepala sekolah. Ya Tuhan… aku melihat senyum bahagianya hari ini. Aku menangis lagi hari itu.

Para wisudawan dan wisudawati diharuskan mengalungkan medali mereka ke orang tua mereka. Aku terlambat melihat prosesi itu karena baru dari kamar mandi. Aku mencari sosok laki-laki itu dan ternyata ia sedang memotret kedua orang tuanya menggunakan kamera Mizu. Aku tersenyum lagi.

Esok paginya aku merenungkan hari wisuda tersebut. Aku baru sadar kalau dia sudah melepas status sebagai siswa sekolahan dan bersiap melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Sedangkan aku, baru 2 tahun lagi akan merasakan senangnya wisuda dan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, baru sadar dia tidak akan ada setiap hari untuk membuatku jengkel. Semua kenangan di atas hanya bisa aku tulis dan aku ingat seperti putaran-putaran film.

Ryu senpai, terima kasih sudah membuat tahun pertamaku di Tokyo Gakuen indah. Terima kasih sudah membuatku menangis. Terima kasih sudah membuatku tersenyum begitu kau ada di lapangan. Terima kasih sudah mengisi diary-ku dengan namamu dan mengisi berlembar-lembar hidupku dengan perbuatan, nama dan wajahmu. Aku hanya berharap, cita-citamu dengan Perancis berhasil dan terus membuatmu tersenyum bahagia untuk selamanya…

Sabtu, 29 April 2011. Hari yang ditunggu semua anak kelas 1 Tokyo Gakuen. Hari Festival Kebudayaan. Semua kerja keras, usaha, kekompakan dan kesempurnaan kami akan diuji di hari ini. Kelasku mendapatkan urutan pertama dalam menampilkan seni. Huh… selesai juga! Setengah jam tak terasa.

Begitu lama kami menunggu pengumuman pemenang. Urutan terakhir penampil adalah kelas 1-E, kelas adik Ryu senpai. Aku mendengar dari temanku yang ada di kelas itu kalau Satoshi, adik senpai, akan berperan sebagai Momotaro dewasa. Mendengar hal tersebut aku hanya bisa tersenyum. Tibalah saat kelas 1-E untuk unjuk gigi. Saat itu aku melihat kalau Satoshi dan sang kakak mempunyai kemiripan dari segi wajah, tingkah laku, gaya jalan dan ekspresi. Aku melihatnya berperan sedang bertarung melawan raksasa. Ia menang melawan sang raksasa. Aku menangis. Untungnya aku masih bisa mengontrolnya. Entah mengapa bisa terjadi hal itu. Aku berteriak dalam hati bahwa dia BUKAN Ryu senpai. Dia Cuma sang adik. Namun aku pun menjadi sadar apa yang membuatnya lebih mirip dengan sang kakak. Baju yang ia pakai adalah baju yang Ryu senpai pakai di video yang ada di handycam Mizu. Aku hanya bisa memejamkan mataku. Dan aku hanya bisa berharap semoga tidak ada satu orang pun yang melihat aku menangis.
Gladi bersih wisuda dan pelepasan para kakak senior dilaksanakan pada hari Sabtu, 5 Mei 2011 di Aula Tokyo University. Aku sebagai panitia dalam acara tersebut. Seluruh senior diminta hadir dalam gladi tersebut. Aku berharap Ryu senpai datang. Aku selalu melihat ke arah pintu. Berharap akan ada sosok laki-laki sok cool melewati pintu itu. Tapi aku kecewa. Dia tidak datang. Aku hanya bisa tersenyum samar.
Hari H pun datang. Tanggal 6 Mei 2011, aula Tokyo University dipenuhi 2000 orang. Aku bertugas sebagai pengantar para orang tua murid ke dalam aula. Aku berharap semoga ga kedapetan orang tua senpai. Tapi do’aku tidak terkabul. Inoue senpai datang membawa sebuah keluarga untukku. Sebuah keluarga yang sudah kuketahui siapa anak dari orang tua tersebut. Orang tua Ryu senpai. Aku nyaris bengong melihatnya hari itu. Rambutnya gondrong, kacamata frame hitamnya, jas dan celana hitam dan senyum itu. Aku mengantarkan mereka ke dalam. Dalam perjalanan, sang ibu berhenti untuk bersalaman dengan Nakano Sensei sambil bertanya, “Bagaimana hasilnya?” Nakano Sensei menjawab, “sudah lulus, Bu.” Kemudian aku melihat sang ibu tersenyum, begitu juga sang ayah. Tapi mengapa hati ini sakit begitu mendengar kabar tersebut? Itu merupakan berita yang menyenangkan untuk semua orang. Aku tak tahu. Lalu aku mempersilakan orang tua tersebut masuk ke dalam aula.
Saat dimana pengalungan medali pun tiba. “Hanazawa Ryu.” Kepalaku langsung mendongak ke arah tangga panggung. Di sana berjalanlah laki-laki gila kendo berkacamata. Semua teman dan sebagian besar orang tua bertepuk tangan untuknya. Ya Tuhan… dia lulus. Dia sedang berjalan di atas panggung sambil dikalungkan medali oleh kepala sekolah. Ya Tuhan… aku melihat senyum bahagianya hari ini. Aku menangis lagi hari itu.
Para wisudawan dan wisudawati diharuskan mengalungkan medali mereka ke orang tua mereka. Aku terlambat melihat prosesi itu karena baru dari kamar mandi. Aku mencari sosok laki-laki itu dan ternyata ia sedang memotret kedua orang tuanya menggunakan kamera Mizu. Aku tersenyum lagi.
Esok paginya aku merenungkan hari wisuda tersebut. Aku baru sadar kalau dia sudah melepas status sebagai siswa sekolahan dan bersiap melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Sedangkan aku, baru 2 tahun lagi akan merasakan senangnya wisuda dan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, baru sadar dia tidak akan ada setiap hari untuk membuatku jengkel. Semua kenangan di atas hanya bisa aku tulis dan aku ingat seperti putaran-putaran film.
Ryu senpai, terima kasih sudah membuat tahun pertamaku di Tokyo Gakuen indah. Terima kasih sudah membuatku menangis. Terima kasih sudah membuatku tersenyum begitu kau ada di lapangan. Terima kasih sudah mengisi diary-ku dengan namamu dan mengisi berlembar-lembar hidupku dengan perbuatan, nama dan wajahmu. Aku hanya berharap, cita-citamu dengan Perancis berhasil dan terus membuatmu tersenyum bahagia untuk selamanya…

No comments:

Post a Comment