Saturday, September 4, 2010

J a u h . . .4

Februari berubah menjadi Maret. Bulan dimana Ryu senpai dan kawan-kawan ujian sekolah dan ujian praktek. Pertengahan Maret aku melihatnya sibuk menangani foto untuk buku tahunannya. Semua anak kelas 1 diminta masuk pagi untuk berfoto sesuai dengan ekskul yang diikutinya. Ekskul-ku cha no yu (latihan upacara minum teh) dan english club. Sementara menunggu giliran cha no yu foto, aku melihat Ryu senpai berlari-lari sambil membawa kertas. Bolak-balik antara gedung sekolah dan kantin. Aku tersenyum. Belum pernah aku melihatnya sesemangat ini dalam melakukan sesuatu. Hari itu dia memakai baju putih dan celana putihnya. Khas Ryu senpai.

19 Maret 2011 merupakan hari dimana aku dan teman-teman satu angkatanku masuk pagi. Dan kau tahu kelas mana yang akan kupakai untuk menghabiskan sisa semester 2 ini? Kelas 3-D. Kelas Ryu senpai. Senang. Aku hanya bisa tersenyum dalam hati. Sebenarnya aku berdo’a dan sudah mengira kalo akan menempati kelas itu. Tapi tak sangka akan menjadi kenyataan.


Jum’at, 23 Maret 2011 aku melihatnya bersama Yamanaka senpai di gedung kelas baruku. Di jembatan tepatnya. Dia memakai kaos abu-abu dan celana jeans, kacamata ber-frame hitam, jaket tanpa lengan putihnya yang biasa, tas ransel dan sepatu putih. Aku melihatnya sedang tertawa sambil mengawasi jalannya proses foto adik-adik kelas. Kebetulan aku sedang naik ke atas memanggil gadis-gadis yang ikut ekskul cha no yu di kelasku. Aku melewati Ryu senpai dan Yamanaka senpai. Temanku bertanya, “kenapa Kagawa Sensei manggil kita?” sekilas aku melihat wajahnya yang heran bercampur kesal. Aku nggak tahu sorot mata apa itu. Entah dia diam-diam mencelaku, atau kesal karena melihatku dari tadi bolak-balik ga jelas sementara jalan yang aku pakai sebagai background foto adik-adik kelasnya. “Ga tau. Mungkin masalah latihan minggu besok kali.” Jawabku. Kemudian langsung berjalan tanpa melihatnya lagi.


Hari Senin, 26 Maret 2011. Hari pengumuman ujian tingkat sekolah atas. Nakano Sensei bercerita kalo ada dari kakak kelas kalian yang tidak lulus, tolong jangan dicemooh. Tapi disemangati. Ketika istirahat aku dan Misa pergi ke taman untuk duduk-duduk. Sebelumnya kami dari kantin. Aku melihat kakak-kakak dari ekskul ballet sedang berkumpul. Oh ya, proposalnya! batinku. Aku pun menitipkan jajananku pada Misa kemudian langsung melesat ke kelas. Ketika mau balik ke taman, Mizu memberitahuku sesuatu yang sama sekali ga pengen aku dengar. “Yuki, kasian banget deh Ryu senpai.”


“Kenapa emang?” tanyaku acuh. “Dia gak lulus ujian.” lanjutnya lagi. Jantungku langsung berdetak dua kali lebih cepat. Tubuhku menegang dan otomatis langsung memegang pintu yang ada di sampingku. Napasku tercekat dan ada sedikit getaran dalam suaraku. “Mizu serius?” tanyaku memastikan. “Sumpah! Tadi aku liat Ryu senpai nangis. Matanya merah sembab.” Katanya mengakhiri pembicaraan. Lalu langsung pergi ke tempat duduknya. Aku berhenti sejenak untuk menahan air mata yang jatuh dan berusaha sebisa mungkin memasang tampang seperti biasanya. Aku berlari melewati kelas Satoshi. Kurasa dia pasti sedih mendengar berita tentang kakaknya itu.


Begitu sampai di bawah, aku langsung menaikkan kecepatan berlariku. “Misa!” aku berteriak memanggil Misa. Suaraku bergetar. “Ryu-kun. Ryu-kun ga lulus ujian!” air mataku jatuh setitik. Misa kaget, mata terbelalak dan langsung berdiri begitu mendengar berita itu. “Kok bisa?” tanyanya. “Gue gak tahu!” air mataku menderas. Tapi masih bisa kukontrol.


Siang hari setelah dari perpustakaan, tenggorokanku minta minum. Aku menghampiri Misa dan membujuknya menemaniku ke kantin. Akhirnya dia mau. Aku melihat Ryu senpai – memakai kemeja putih lengan pendek, berdasi hitam, bercelana hitam, memegang jas, berkacamatanya yang biasa – duduk melamun ke arah luar kantin sambil mendengarkan Shin senpai memberi nasihat. Kulihat di wajah Ryu senpai, raut kepasrahan, pucat, menerawang dan tertekan sekaligus shock bercampur menjadi satu. Aku melewati pemandangan itu dan memesan minuman. Aku sengaja mengalihkan pandangan agar tidak usah melihat adegan itu.


Sepulangnya dari kantin, tak ada yang bisa kutahan lagi. Pelan-pelan aku menangis. Menutupi tangisan itu dari Misa, tapi dia melihatnya. Dia memelukku dan menawariku untuk ke toilet, aku menolaknya. Mataku sembab dan suaraku bergetar. Wajahku memerah. Aku berusaha memalingkan wajahku kepada setiap orang yang berbicara kepadaku. Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku menghampiri Harue, yang sedang menulis sesuatu di papan tulis. Duduk di dekatnya dan mulai menangis. Tangisan itu tidak sehebat seperti sebelumnya. Tapi cukup membuat jiwa dan raga ini lelah ketika melakukannya. Kepalaku pusing karena memendam emosi itu. Air mata itu tak kunjung berhenti walaupun aku berhenti menangis. “Yuki-chan! Nangis!” seru Mizu begitu melihat wajahku. “Nggak! Siapa bilang.” Aku ngeles. Tapi tetap saja air yang berasa asin itu tak mau berhenti mengalir dari mataku.


Begitu juga ketika pelajaran sejarah berlangsung. Tak kunjung berhenti juga air mata ini. Padahal hati ini sudah membaik dan mulai bisa menerima kenyataan itu. Tapi mengapa jasad ini tak bisa?


Di pertengahan bulan April, aku sedang duduk-duduk di kantin bersama teman-temanku membahas tentang politik. Ribut bukan main kami mengomentari negeri sendiri. Ryu senpai dan sang adik datang dan menempati meja tepat disebelah mejaku. Dia akan memesan makanan. Tak berapa lama kemudian, beberapa anak kendo datang dan duduk bersamanya. Sang mantan pacar datang dan memesan makanan. Ia mengambil tempat duduk jauh di sebelah Ryu senpai. Aku melihatnya. Bingung. Kenapa begitu?


bersambung . .

No comments:

Post a Comment