Tuesday, September 14, 2010

Laki-laki

Aku suka laki-laki yang dingin
Seolah tak peduli dengan wanita di sekelilingnya
Hanya peduli pada satu wanita
Tapi dengan cerdas menutupinya
Yang diam-diam mengamati dan membantunya
Dari kejauhan

Aku suka laki-laki yang humoris
Selalu membuat orang tersenyum tulus
Dan tertawa bahagia melihat tingkah lakunya
Tapi bisa menjaga wanita yang ia cintai
Dengan sepenuh hati
Dan tak ingin wanita itu luka ataupun celaka

Aku suka laki-laki yang pendiam
Yang hanya bisa tersenyum dengan menarik
Begitu mendengar lelucon
Dan hanya berbicara dengan mata
Begitu amarah menguasainya
Tapi ia mampu menarikku
Sehingga aku terpesona melihat kelebihan
Yang orang lain tak lihat
Atau merasa

Aku suka laki-laki sederhana
Tidak dingin, tidak humoris
Tidak begitu tampan
Tapi punya daya tarik magis
Yang membuatku senang melihatnya
Namun hampa bila tak melihatnya

Aku suka laki-laki yang menghargai wanita
Yang tidak membedakan wanita manapun
Yang selalu mendahulukan wanita
Yang lemah lembut nan tegas pada wanita
Dan tidak pernah mengerasi wanita

Aku suka laki-laki sopan
Yang tidak melihat wanita dari paras
Tapi melihat hati
Yang tidak melihat fisik
Tapi melihat akhlak
Yang tidak mudah mendekati wanita
Tapi lebih menjaga diri

Namun…
Aku benci laki-laki yang ramah
Yang selalu tersenyum
Tapi punya wajah lain dibalik topengnya

Aku benci laki-laki pemarah
Yang hanya bisa menyakiti wanita
Tak pernah membuatnya tersenyum tulus

Aku benci laki-laki aktif
Yang hanya mencari perhatian wanita
Yang selalu bicara
Tapi tak punya hati ataupun rasa
Yang tak bisa menahan amarah diri
Dan selalu berlebihan

Aku benci laki-laki sok
Yang berlagak dingin dan humoris
Tapi tak punya daya tarik

Aku benci laki-laki kasar
Yang hanya melihat wanita dari paras
Harta dan fisik
Yang tak menghargai wanita
Hingga menghalalkan segala cara
Untuk mendapatkannya

Sunday, September 5, 2010

J a u h . . .5

Jum’at, 28 April 2011 kelas 1-D sedang sibuk mempersiapkan festival kebudayaan yang akan dilaksanakan esok harinya. Waktu tengah hari pun datang. Seperti biasa, Mizu membawa handycam, yang katanya habis dipinjam Ryu senpai. Aku pun iseng membuka video-video yang ada di dalam handycam. Aku tertawa melihat semua kekonyolan dan tersenyum melihat kekompakan kelas 1-D. Tapi tawa dan senyumanku langsung terhapus begitu aku meng-klik tombol untuk ke video selanjutnya. Pikiranku menjadi kosong beberapa saat, tanganku gemetar, ada sedikit air mata yang akan keluar dan jantung langsung berdetak tak normal. Kedengarannya lebay banget. Tapi memang itu yang terjadi padaku waktu itu. Video Ryu senpai bersama teman-teman kelas 3-D nya. Video-video itu mewakili bagaimana senangnya perasaannya bersama teman-teman dan wali kelas di sebuah tempat. Aku senang melihatnya senang. Tapi aku bingung, mengapa gelagat tidak senangku melihatnya masih ada? Padahal aku sudah menerima kenyataan lahir batin bahwa dia bukan milikku, dan tak kan pernah menjadi milikku dan dia akan pergi ninggalin aku di sekolah ini tanpa menengok kembali.


Sabtu, 29 April 2011. Hari yang ditunggu semua anak kelas 1 Tokyo Gakuen. Hari Festival Kebudayaan. Semua kerja keras, usaha, kekompakan dan kesempurnaan kami akan diuji di hari ini. Kelasku mendapatkan urutan pertama dalam menampilkan seni. Huh… selesai juga! Setengah jam tak terasa.

Begitu lama kami menunggu pengumuman pemenang. Urutan terakhir penampil adalah kelas 1-E, kelas adik Ryu senpai. Aku mendengar dari temanku yang ada di kelas itu kalau Satoshi, adik senpai, akan berperan sebagai Momotaro dewasa. Mendengar hal tersebut aku hanya bisa tersenyum. Tibalah saat kelas 1-E untuk unjuk gigi. Saat itu aku melihat kalau Satoshi dan sang kakak mempunyai kemiripan dari segi wajah, tingkah laku, gaya jalan dan ekspresi. Aku melihatnya berperan sedang bertarung melawan raksasa. Ia menang melawan sang raksasa. Aku menangis. Untungnya aku masih bisa mengontrolnya. Entah mengapa bisa terjadi hal itu. Aku berteriak dalam hati bahwa dia BUKAN Ryu senpai. Dia Cuma sang adik. Namun aku pun menjadi sadar apa yang membuatnya lebih mirip dengan sang kakak. Baju yang ia pakai adalah baju yang Ryu senpai pakai di video yang ada di handycam Mizu. Aku hanya bisa memejamkan mataku. Dan aku hanya bisa berharap semoga tidak ada satu orang pun yang melihat aku menangis.

Gladi bersih wisuda dan pelepasan para kakak senior dilaksanakan pada hari Sabtu, 5 Mei 2011 di Aula Tokyo University. Aku sebagai panitia dalam acara tersebut. Seluruh senior diminta hadir dalam gladi tersebut. Aku berharap Ryu senpai datang. Aku selalu melihat ke arah pintu. Berharap akan ada sosok laki-laki sok cool melewati pintu itu. Tapi aku kecewa. Dia tidak datang. Aku hanya bisa tersenyum samar.

Hari H pun datang. Tanggal 6 Mei 2011, aula Tokyo University dipenuhi 2000 orang. Aku bertugas sebagai pengantar para orang tua murid ke dalam aula. Aku berharap semoga ga kedapetan orang tua senpai. Tapi do’aku tidak terkabul. Inoue senpai datang membawa sebuah keluarga untukku. Sebuah keluarga yang sudah kuketahui siapa anak dari orang tua tersebut. Orang tua Ryu senpai. Aku nyaris bengong melihatnya hari itu. Rambutnya gondrong, kacamata frame hitamnya, jas dan celana hitam dan senyum itu. Aku mengantarkan mereka ke dalam. Dalam perjalanan, sang ibu berhenti untuk bersalaman dengan Nakano Sensei sambil bertanya, “Bagaimana hasilnya?” Nakano Sensei menjawab, “sudah lulus, Bu.” Kemudian aku melihat sang ibu tersenyum, begitu juga sang ayah. Tapi mengapa hati ini sakit begitu mendengar kabar tersebut? Itu merupakan berita yang menyenangkan untuk semua orang. Aku tak tahu. Lalu aku mempersilakan orang tua tersebut masuk ke dalam aula.

Saat dimana pengalungan medali pun tiba. “Hanazawa Ryu.” Kepalaku langsung mendongak ke arah tangga panggung. Di sana berjalanlah laki-laki gila kendo berkacamata. Semua teman dan sebagian besar orang tua bertepuk tangan untuknya. Ya Tuhan… dia lulus. Dia sedang berjalan di atas panggung sambil dikalungkan medali oleh kepala sekolah. Ya Tuhan… aku melihat senyum bahagianya hari ini. Aku menangis lagi hari itu.

Para wisudawan dan wisudawati diharuskan mengalungkan medali mereka ke orang tua mereka. Aku terlambat melihat prosesi itu karena baru dari kamar mandi. Aku mencari sosok laki-laki itu dan ternyata ia sedang memotret kedua orang tuanya menggunakan kamera Mizu. Aku tersenyum lagi.

Esok paginya aku merenungkan hari wisuda tersebut. Aku baru sadar kalau dia sudah melepas status sebagai siswa sekolahan dan bersiap melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Sedangkan aku, baru 2 tahun lagi akan merasakan senangnya wisuda dan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, baru sadar dia tidak akan ada setiap hari untuk membuatku jengkel. Semua kenangan di atas hanya bisa aku tulis dan aku ingat seperti putaran-putaran film.

Ryu senpai, terima kasih sudah membuat tahun pertamaku di Tokyo Gakuen indah. Terima kasih sudah membuatku menangis. Terima kasih sudah membuatku tersenyum begitu kau ada di lapangan. Terima kasih sudah mengisi diary-ku dengan namamu dan mengisi berlembar-lembar hidupku dengan perbuatan, nama dan wajahmu. Aku hanya berharap, cita-citamu dengan Perancis berhasil dan terus membuatmu tersenyum bahagia untuk selamanya…

Sabtu, 29 April 2011. Hari yang ditunggu semua anak kelas 1 Tokyo Gakuen. Hari Festival Kebudayaan. Semua kerja keras, usaha, kekompakan dan kesempurnaan kami akan diuji di hari ini. Kelasku mendapatkan urutan pertama dalam menampilkan seni. Huh… selesai juga! Setengah jam tak terasa.

Begitu lama kami menunggu pengumuman pemenang. Urutan terakhir penampil adalah kelas 1-E, kelas adik Ryu senpai. Aku mendengar dari temanku yang ada di kelas itu kalau Satoshi, adik senpai, akan berperan sebagai Momotaro dewasa. Mendengar hal tersebut aku hanya bisa tersenyum. Tibalah saat kelas 1-E untuk unjuk gigi. Saat itu aku melihat kalau Satoshi dan sang kakak mempunyai kemiripan dari segi wajah, tingkah laku, gaya jalan dan ekspresi. Aku melihatnya berperan sedang bertarung melawan raksasa. Ia menang melawan sang raksasa. Aku menangis. Untungnya aku masih bisa mengontrolnya. Entah mengapa bisa terjadi hal itu. Aku berteriak dalam hati bahwa dia BUKAN Ryu senpai. Dia Cuma sang adik. Namun aku pun menjadi sadar apa yang membuatnya lebih mirip dengan sang kakak. Baju yang ia pakai adalah baju yang Ryu senpai pakai di video yang ada di handycam Mizu. Aku hanya bisa memejamkan mataku. Dan aku hanya bisa berharap semoga tidak ada satu orang pun yang melihat aku menangis.
Gladi bersih wisuda dan pelepasan para kakak senior dilaksanakan pada hari Sabtu, 5 Mei 2011 di Aula Tokyo University. Aku sebagai panitia dalam acara tersebut. Seluruh senior diminta hadir dalam gladi tersebut. Aku berharap Ryu senpai datang. Aku selalu melihat ke arah pintu. Berharap akan ada sosok laki-laki sok cool melewati pintu itu. Tapi aku kecewa. Dia tidak datang. Aku hanya bisa tersenyum samar.
Hari H pun datang. Tanggal 6 Mei 2011, aula Tokyo University dipenuhi 2000 orang. Aku bertugas sebagai pengantar para orang tua murid ke dalam aula. Aku berharap semoga ga kedapetan orang tua senpai. Tapi do’aku tidak terkabul. Inoue senpai datang membawa sebuah keluarga untukku. Sebuah keluarga yang sudah kuketahui siapa anak dari orang tua tersebut. Orang tua Ryu senpai. Aku nyaris bengong melihatnya hari itu. Rambutnya gondrong, kacamata frame hitamnya, jas dan celana hitam dan senyum itu. Aku mengantarkan mereka ke dalam. Dalam perjalanan, sang ibu berhenti untuk bersalaman dengan Nakano Sensei sambil bertanya, “Bagaimana hasilnya?” Nakano Sensei menjawab, “sudah lulus, Bu.” Kemudian aku melihat sang ibu tersenyum, begitu juga sang ayah. Tapi mengapa hati ini sakit begitu mendengar kabar tersebut? Itu merupakan berita yang menyenangkan untuk semua orang. Aku tak tahu. Lalu aku mempersilakan orang tua tersebut masuk ke dalam aula.
Saat dimana pengalungan medali pun tiba. “Hanazawa Ryu.” Kepalaku langsung mendongak ke arah tangga panggung. Di sana berjalanlah laki-laki gila kendo berkacamata. Semua teman dan sebagian besar orang tua bertepuk tangan untuknya. Ya Tuhan… dia lulus. Dia sedang berjalan di atas panggung sambil dikalungkan medali oleh kepala sekolah. Ya Tuhan… aku melihat senyum bahagianya hari ini. Aku menangis lagi hari itu.
Para wisudawan dan wisudawati diharuskan mengalungkan medali mereka ke orang tua mereka. Aku terlambat melihat prosesi itu karena baru dari kamar mandi. Aku mencari sosok laki-laki itu dan ternyata ia sedang memotret kedua orang tuanya menggunakan kamera Mizu. Aku tersenyum lagi.
Esok paginya aku merenungkan hari wisuda tersebut. Aku baru sadar kalau dia sudah melepas status sebagai siswa sekolahan dan bersiap melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Sedangkan aku, baru 2 tahun lagi akan merasakan senangnya wisuda dan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, baru sadar dia tidak akan ada setiap hari untuk membuatku jengkel. Semua kenangan di atas hanya bisa aku tulis dan aku ingat seperti putaran-putaran film.
Ryu senpai, terima kasih sudah membuat tahun pertamaku di Tokyo Gakuen indah. Terima kasih sudah membuatku menangis. Terima kasih sudah membuatku tersenyum begitu kau ada di lapangan. Terima kasih sudah mengisi diary-ku dengan namamu dan mengisi berlembar-lembar hidupku dengan perbuatan, nama dan wajahmu. Aku hanya berharap, cita-citamu dengan Perancis berhasil dan terus membuatmu tersenyum bahagia untuk selamanya…

Saturday, September 4, 2010

J a u h . . .4

Februari berubah menjadi Maret. Bulan dimana Ryu senpai dan kawan-kawan ujian sekolah dan ujian praktek. Pertengahan Maret aku melihatnya sibuk menangani foto untuk buku tahunannya. Semua anak kelas 1 diminta masuk pagi untuk berfoto sesuai dengan ekskul yang diikutinya. Ekskul-ku cha no yu (latihan upacara minum teh) dan english club. Sementara menunggu giliran cha no yu foto, aku melihat Ryu senpai berlari-lari sambil membawa kertas. Bolak-balik antara gedung sekolah dan kantin. Aku tersenyum. Belum pernah aku melihatnya sesemangat ini dalam melakukan sesuatu. Hari itu dia memakai baju putih dan celana putihnya. Khas Ryu senpai.

19 Maret 2011 merupakan hari dimana aku dan teman-teman satu angkatanku masuk pagi. Dan kau tahu kelas mana yang akan kupakai untuk menghabiskan sisa semester 2 ini? Kelas 3-D. Kelas Ryu senpai. Senang. Aku hanya bisa tersenyum dalam hati. Sebenarnya aku berdo’a dan sudah mengira kalo akan menempati kelas itu. Tapi tak sangka akan menjadi kenyataan.


Jum’at, 23 Maret 2011 aku melihatnya bersama Yamanaka senpai di gedung kelas baruku. Di jembatan tepatnya. Dia memakai kaos abu-abu dan celana jeans, kacamata ber-frame hitam, jaket tanpa lengan putihnya yang biasa, tas ransel dan sepatu putih. Aku melihatnya sedang tertawa sambil mengawasi jalannya proses foto adik-adik kelas. Kebetulan aku sedang naik ke atas memanggil gadis-gadis yang ikut ekskul cha no yu di kelasku. Aku melewati Ryu senpai dan Yamanaka senpai. Temanku bertanya, “kenapa Kagawa Sensei manggil kita?” sekilas aku melihat wajahnya yang heran bercampur kesal. Aku nggak tahu sorot mata apa itu. Entah dia diam-diam mencelaku, atau kesal karena melihatku dari tadi bolak-balik ga jelas sementara jalan yang aku pakai sebagai background foto adik-adik kelasnya. “Ga tau. Mungkin masalah latihan minggu besok kali.” Jawabku. Kemudian langsung berjalan tanpa melihatnya lagi.


Hari Senin, 26 Maret 2011. Hari pengumuman ujian tingkat sekolah atas. Nakano Sensei bercerita kalo ada dari kakak kelas kalian yang tidak lulus, tolong jangan dicemooh. Tapi disemangati. Ketika istirahat aku dan Misa pergi ke taman untuk duduk-duduk. Sebelumnya kami dari kantin. Aku melihat kakak-kakak dari ekskul ballet sedang berkumpul. Oh ya, proposalnya! batinku. Aku pun menitipkan jajananku pada Misa kemudian langsung melesat ke kelas. Ketika mau balik ke taman, Mizu memberitahuku sesuatu yang sama sekali ga pengen aku dengar. “Yuki, kasian banget deh Ryu senpai.”


“Kenapa emang?” tanyaku acuh. “Dia gak lulus ujian.” lanjutnya lagi. Jantungku langsung berdetak dua kali lebih cepat. Tubuhku menegang dan otomatis langsung memegang pintu yang ada di sampingku. Napasku tercekat dan ada sedikit getaran dalam suaraku. “Mizu serius?” tanyaku memastikan. “Sumpah! Tadi aku liat Ryu senpai nangis. Matanya merah sembab.” Katanya mengakhiri pembicaraan. Lalu langsung pergi ke tempat duduknya. Aku berhenti sejenak untuk menahan air mata yang jatuh dan berusaha sebisa mungkin memasang tampang seperti biasanya. Aku berlari melewati kelas Satoshi. Kurasa dia pasti sedih mendengar berita tentang kakaknya itu.


Begitu sampai di bawah, aku langsung menaikkan kecepatan berlariku. “Misa!” aku berteriak memanggil Misa. Suaraku bergetar. “Ryu-kun. Ryu-kun ga lulus ujian!” air mataku jatuh setitik. Misa kaget, mata terbelalak dan langsung berdiri begitu mendengar berita itu. “Kok bisa?” tanyanya. “Gue gak tahu!” air mataku menderas. Tapi masih bisa kukontrol.


Siang hari setelah dari perpustakaan, tenggorokanku minta minum. Aku menghampiri Misa dan membujuknya menemaniku ke kantin. Akhirnya dia mau. Aku melihat Ryu senpai – memakai kemeja putih lengan pendek, berdasi hitam, bercelana hitam, memegang jas, berkacamatanya yang biasa – duduk melamun ke arah luar kantin sambil mendengarkan Shin senpai memberi nasihat. Kulihat di wajah Ryu senpai, raut kepasrahan, pucat, menerawang dan tertekan sekaligus shock bercampur menjadi satu. Aku melewati pemandangan itu dan memesan minuman. Aku sengaja mengalihkan pandangan agar tidak usah melihat adegan itu.


Sepulangnya dari kantin, tak ada yang bisa kutahan lagi. Pelan-pelan aku menangis. Menutupi tangisan itu dari Misa, tapi dia melihatnya. Dia memelukku dan menawariku untuk ke toilet, aku menolaknya. Mataku sembab dan suaraku bergetar. Wajahku memerah. Aku berusaha memalingkan wajahku kepada setiap orang yang berbicara kepadaku. Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku menghampiri Harue, yang sedang menulis sesuatu di papan tulis. Duduk di dekatnya dan mulai menangis. Tangisan itu tidak sehebat seperti sebelumnya. Tapi cukup membuat jiwa dan raga ini lelah ketika melakukannya. Kepalaku pusing karena memendam emosi itu. Air mata itu tak kunjung berhenti walaupun aku berhenti menangis. “Yuki-chan! Nangis!” seru Mizu begitu melihat wajahku. “Nggak! Siapa bilang.” Aku ngeles. Tapi tetap saja air yang berasa asin itu tak mau berhenti mengalir dari mataku.


Begitu juga ketika pelajaran sejarah berlangsung. Tak kunjung berhenti juga air mata ini. Padahal hati ini sudah membaik dan mulai bisa menerima kenyataan itu. Tapi mengapa jasad ini tak bisa?


Di pertengahan bulan April, aku sedang duduk-duduk di kantin bersama teman-temanku membahas tentang politik. Ribut bukan main kami mengomentari negeri sendiri. Ryu senpai dan sang adik datang dan menempati meja tepat disebelah mejaku. Dia akan memesan makanan. Tak berapa lama kemudian, beberapa anak kendo datang dan duduk bersamanya. Sang mantan pacar datang dan memesan makanan. Ia mengambil tempat duduk jauh di sebelah Ryu senpai. Aku melihatnya. Bingung. Kenapa begitu?


bersambung . .